Digital Health: Janji dan Jurang


Digital Health: Janji dan Jurang

Di tengah derasnya arus teknologi, dunia kesehatan tak luput dari transformasi digital. Kini, kita mengenal digital health: sebuah payung besar yang menaungi telemedicine, aplikasi kesehatan mobile, rekam medis elektronik, wearable device, hingga kecerdasan artifisial. Tujuannya mulia: mempermudah akses, meningkatkan kualitas, dan membuat layanan kesehatan lebih personal.


Bukti-bukti terkini, seperti yang dipetakan dalam sejumlah tinjauan sistematis, menunjukkan bahwa publikasi tentang digital health melonjak drastis sejak 2015, dengan puncaknya pada era pandemi COVID-19. Mayoritas riset difokuskan pada efektivitas intervensi, terutama yang berbasis aplikasi ponsel (mHealth), untuk mengubah perilaku kesehatan, mendukung kepatuhan pengobatan, dan meningkatkan asesmen klinis. Psikiatri menjadi bidang yang paling banyak diulas, mengingat sifat terapinya yang seringkali cocok dengan pendekatan digital.


Namun, di balik optimisme ini, tersembunyi jurang yang dalam. Peta bukti yang ada ternyata tidak merata. Sebagian besar ulasan masih berkutat pada apakah suatu intervensi digital bekerja, tetapi sangat sedikit yang membahas aspek efisiensi biaya, kesetaraan akses (equity), dan sejauh mana layanan ini benar-benar berpusat pada pasien. Kita seperti terjebak dalam euforia "bisa dilakukan", tetapi lupa bertanya "bagaimana dampaknya bagi semua kalangan?" dan "berapa biaya sesungguhnya yang harus dikeluarkan?"

Tantangan ini bukan hanya soal angka dan statistik, melainkan menyentuh ranah yang lebih manusiawi. Sebuah sintesis bukti dari perspektif pasien mengungkap tiga pilar masalah utama: Literasi Digital, Fungsionalitas & Kegunaan, dan Kepercayaan.

Pilar pertama, Literasi Digital, adalah penghalang terbesar. Bukan hanya tentang bisa atau tidaknya mengoperasikan ponsel. Ini tentang kesenjangan generasi dalam hal kemauan dan kemampuan adaptasi. Ini tentang pasien lansia yang gagap teknologi. Ini tentang masyarakat di daerah terpencil yang bahkan tidak tahu bahwa layanan kesehatan digital itu ada. Ini juga tentang pasien dengan bahasa ibu bukan Inggris yang kesulitan memahami konten aplikasi. Ketidaktahuan ini melahirkan ketakutan, frustrasi, dan kecemasan akan salah diagnosis sendiri. Alih-alih memberdayakan, teknologi justru bisa meminggirkan mereka yang paling membutuhkan.
Pilar kedua, Fungsionalitas dan Kegunaan, berbicara tentang desain dan akses. Berapa banyak aplikasi kesehatan yang dirancang dengan antarmuka yang rumit? Berapa banyak yang membutuhkan input manual yang menyita waktu dan tenaga? Lupa kata sandi, proses login yang berbelit, dan koneksi internet yang tersendat adalah penghalang nyata yang membuat pengguna menyerah dan akhirnya meninggalkan aplikasi. Masalah akses pun nyata: tidak memiliki ponsel pintar, tidak mampu membeli paket data, atau tinggal di daerah dengan sinyal yang buruk adalah tembok pembatas yang mengubur potensi digital health sejak awal. Kekhawatiran akan stigma sosial karena memakai wearable device dan rasa tidak nyaman menjadi "terlalu terhubung" juga menjadi pertimbangan.
Pilar ketiga, dan mungkin yang paling krusial, adalah Kepercayaan. Bagaimana mungkin kita bisa menyerahkan data kesehatan kita—yang sangat sensitif—pada sebuah platform jika kita ragu dengan keamanannya? Kekhawatiran akan pelanggaran data, penyalahgunaan data untuk kepentingan komersial, atau pembagian data kepada pemerintah tanpa persetujuan yang jelas adalah momok yang nyata. Pasien merasa kehilangan kendali atas data mereka sendiri. Di sisi lain, ada ketakutan akan pudarnya hubungan manusiawi antara dokter dan pasien. Sentuhan, empati, dan komunikasi nonverbal yang hangat sulit tergantikan oleh layar datar. Kekhawatiran bahwa konsultasi virtual akan mereduksi perawatan menjadi transaksi teknis belaka adalah hal yang valid. Ketergantungan berlebihan pada teknologi juga memunculkan kekhawatiran baru: distorsi hubungan sosial dan potensi adiksi.

Tantangan ini diperparah oleh apa yang disebut "paradoks produktivitas". Investasi besar-besaran dalam teknologi informasi tidak serta-merta menghasilkan peningkatan produktivitas atau kualitas layanan yang signifikan. Penyebabnya beragam, mulai dari manajemen TI yang tidak efisien, infrastruktur yang tidak mendukung, hingga kegagalan dalam mengintegrasikan teknologi ke dalam alur kerja klinis yang sudah ada.

Lalu, ke mana kita harus melangkah?

Pertama, kita harus jujur mengakui bahwa bukti yang kita miliki saat ini masih timpang. Terlalu banyak fokus pada "apakah bekerja" dan terlalu sedikit pada "bagaimana menerapkannya secara adil dan berkelanjutan". Riset dan ulasan di masa depan harus dengan sengaja mengeksplorasi celah-celah ini, khususnya mengenai efisiensi biaya dan pemerataan akses bagi kelompok rentan.
Kedua, desain digital health harus benar-benar berpusat pada manusia (human-centered design). Bukan hanya tentang kode dan algoritma, melainkan tentang memahami konteks kehidupan penggunanya. Aplikasi harus intuitif, mudah diakses oleh mereka dengan kemampuan teknologi terbatas, dan mendukung—bukan menggantikan—hubungan terapeutik antara penyedia layanan dan pasien.
Ketiga, membangun kepercayaan membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan privasi yang panjang dan berbelit. Diperlukan kerangka etika yang kuat yang menempatkan hak asasi manusia sebagai fondasi. Transparansi mutlak tentang bagaimana data digunakan, persetujuan yang benar-benar informed, dan jaminan keamanan siber yang robust adalah harga mati. Sertifikasi dan "stempel" keamanan dari badan independen dapat membantu pasien memilih alat yang terpercaya.
Terakhir, kita tidak bisa mengabaikan konteks global. Sebagian besar bukti dan inovasi datang dari negara maju. Padahal, tantangan dan peluang digital health di negara berpenghasilan rendah dan menengah justru mungkin lebih besar. Di sinilah pentingnya investasi dalam infrastruktur digital, pelatihan literasi kesehatan digital, dan pengembangan solusi yang rendah biaya dan hemat daya, yang dapat berjalan dengan lancar di daerah dengan konektivitas terbatas.

Revolusi digital kesehatan bukanlah tentang menggantikan peran manusia dengan mesin. Ini tentang menciptakan ekosistem di mana teknologi berfungsi sebagai alat pemerkasa, yang memperluas jangkauan, mempertajam akurasi, dan memperdalam personalisasi perawatan, tanpa mengikis hakikat manusiawi dari proses penyembuhan itu sendiri. Masa depan digital health tidak ditentukan oleh kecanggihan algoritmanya semata, tetapi oleh sejauh mana kita mampu menjembatani jurang antara janji teknologi dan realitas kemanusiaan yang kompleks. 

 

(Dokter Dito Anurogo MSc PhD, WWPO Peace Ambassador untuk Indonesia, alumnus PhD dari IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dokter riset, dosen FKIK Unismuh Makassar, peneliti IMI, trainer dan penulis profesional berlisensi BNSP, reviewer jurnal Internasional-nasional, organisatoris)

Kalender

Artikel Terkait