
Baca buku KIA dengan numpang budaya oral

Seorang rekan kirim WA, “Kaget juga. Kader-kader banyak yang belum pernah baca buku KIA.”
Kok, tidak baca? Apa tidak ada motivasi?
Masalahnya bukan motivasi tapi budaya komunikasi. Setiap masyarakat memiliki budaya komunikasi tertentu. Terkait baca membaca, ada masyarakat yang dominan membaca. Namun, ada pula masyarakat yang lebih dominan oral atau lisan.
Masyarakat individualis umumnya lebih ke budaya baca atau tulisan dan lebih rasional. Masyarakat yang komunal biasa nya lebih ke budaya oral atau lisan dan karenanya lebih sosial emosional.
Agar efektif, edukasi mesti mempertimbangkan budaya yang berlaku. Bila tidak, bisa terjadi communication breakdown atau kegagalan berkomunikasi seperti kasus buku KIA di atas.
Budaya komunikasi tidak bisa dipaksa berubah. Upaya memaksa mengganti suatu budaya masyarakat dengan budaya lain namanya kolonialisasi budaya. Kalau hendak memadukan dua budaya berbeda agar menghasilkan budaya baru namanya asimilasi. Kalau hendak melestarikan demi menghargai budaya berlaku dan hanya ingin nebeng budaya berlaku, namanya akulturasi. Dalam akulturasi, budaya asal masih terlihat.
Agar Buku KIA, yang notabene berasal dari budaya baca, bisa dimanfaatkan, bagaimana caranya? Berpuluh tahun diprogramkan, mungkin perlu menengok strategi akulturasi. Bagaimana bisa nebeng ke budaya nusantara, yang oral?
Cara paling mudah adalah belajar dari praktik keseharian. Berikut contohnya:
Tadarusan
Kumpulan orang membaca bergantian. Sepotong-sepotong sampai tuntas bagian tertentu. Saat satu orang membaca, yang lain menyimak. Kalau ada salah, perbaiki. Boleh berhenti sejenak, kalau belum paham maksudnya. Catatan: cara bacanya mesti berlagu atau setidaknya berdialek. Karena dalam budaya oral, kata-kata dikeluarkan dengan nada irama tertentu, tidak datar, atau kaku kaya robot.
Hafalan
Tradisi lisan lebih menekankan hafalan. Budaya tulisan pada analisa. Agar dapat dihafal, teks mesti menyesuaikan. Mungkin lebih puitis, berirama, atau dengan jembatan keledai? Sesi belajar bersama buku KIA mesti membantu hafal-menghafal (mengulang-ulang, setoran hafalan atau lainnya).
Menyanyi
Menyanyi sama-sama adalah salah satu pilar budaya lisan. Karenanya, belajar buku KIA mesti mengandung elemen menyanyi bersama. Ini bisa dilakukan, misalnya, dengan menyanyi bersama dan kemudian membahas isi lagu sambil melihat referensi buku KIA.
Cerita
Cerita juga termasuk pilar budaya lisan di mana informasi kunci dibuatkan sebagai cerita atau perumpamaan, yang lebih mudah diambil pelajaran, dipikirkan, dibayangkan, dijadikan sumber motivasi, dan diingat. Kegiatan baca-baca bisa dilakukan setelah cerita disampaikan. Atau, bisa juga beberapa bagian teks dirumuskan sebagai cerita dan dibaca keras.
Jogja, 12 September 2024 - RR