
Edukasi Kesehatan dari sekolah ke keluarga

Meski manfaatnya dirasakan anak, orang tua adalah pihak yang menentukan layanan kesehatan yang diterima anak. Imunisasi HPV, misalnya. Anak perempuan adalah pihak yang akan dikebalkan dari serangan virus HPV penyebab kanker serviks, pembunuh nomor 1 di kelompok perempuan dewasa, namun orang tua yang mengambil keputusan apakah anak di-imunisasi atau tidak. Setinggi apapun semangat anak diimunisasi, dia tak akan bisa berbuat banyak bila orang tua melarang. Apalagi yang berkata adalah bapaknya. Pupus sudah harapannya. Oleh karena itulah, edukasi pada orang tua menjadi penting.
Edukasi anak di sekolah sesungguhnya dapat menjembatani edukasi orang tua. Salah satu model yang dapat dimanfaatkan adalah edukasi C2P atau Child to Parent. Yang pertama diedukasi adalah anak sekolah. Setelah itu, diharapkan anak mengedukasi orang tua.
Untuk konteks Indonesia, edukasi anak ke orang tua tidak bisa mengambil pendekatan barat di mana anak bisa dengan mudah menasehati orang tua. Budaya komunikasi di nusantara tidak memungkinkan anak menasehati orang tua (kecuali orang tua kota-kota besar yang bernilai barat). Karena itu, mesti dicari pendekatan lain yang sesuai dengan pendekatan di nusantara.
Tentang ini ada cerita seorang dokter muda di jaman pandemi kemarin. Dia adalah anak bungsu di keluarga golongan tidak percaya COVID-19. Saat orang-orang diminta pakai masker dan jaga jarak, ibu bapaknya tidak mau mengikuti. Anaknya yang dokter sudah rajin menasehati tapi tidak digubris. “Anak kecil, tahu apa sih kamu, nak?” ujar orang tuanya. Saat mulai pemberian vaksinasi COVID-19, awalnya orang tua menolak. Pada akhirnya mereka mau juga divaksin tapi bukan karena hasil nasihat anak bungsunya. Dokter muda itu sampai frustasi. “Saya kan dokter. Belajar yang begini-begini tapi kok orang tua masih anggap saya anak kecil dan tidak mau dengar,” ujarnya.
Agar edukasi anak ke orang tua bisa berhasil, pendekatan yang diambil mesti menyesuaikan dengan budaya komunikasi di nusantara. Misalnya, budaya komunikasi di Jawa mengenal unggah ungguh di mana komunikasi antar anak ke orang tua mengambil kata-kata yang berbeda dengan komunikasi anak ke sesamanya. Kata-kata berbeda menunjukkan posisi berbeda dalam hirarki kekuasaan, di mana orang tua menempati posisi yang lebih tinggi dibandingkan anak.
Agar efektif atau mendapatkan hasil, pendekatan komunikasi yang digunakan anak mesti berada dalam konteks relasi pihak yang lebih rendah (anak) ke pihak yang lebih tinggi (orang tua). Jadi, komunkasi ke orang tua tidak akan efektif hanya dengan memberdayakan anak agar berani ngomong pada orang tua. Kalau asal berani ngomong, apalagi dengan menekankan kepercayaan diri akan hak anak, hasilnya justru back fire karena orang tua sulit menerima sikap anak yang begitu.
Salah satu pendekatan yang bisa dipertimbangkan mengambil konsep the power of powerless communication atau dalam bahasa sehari-hari komunikasi rendah hati. Intinya sama dengan komunikasi berungah-ungguh, yaitu memanfaatkan cara komunikasi dalam posisi lebih rendah.
Dalam the power of powerless communication atau kekuatan komunikasi yang tidak berkekuatan, komunikasi yang rendah hati (sebagai anak) justru akan membawa peluang lebih besar dalam mempengaruhi orang tua. Salah satunya adalah karena orang tua akan memperhatikan pesan yang dibawakan oleh anak dan tidak terpicu menolaknya gara-gara posisi yang lebih tingginya disentil.
Kemang, 13 Juli 2024 – RR.