
Edukasi Pakai Cerita, Bukan Hanya Data

“300 ribu orang Indonesia meninggal gara-gara sakit jantung. 300 ribu lagi karena stroke. Ngeri kali ini, Ibu Bapak!”
Mendengar statistik seperti itu, apakah orang awam akan tergugah? Memandang dan merasa ada masalah kesehatan besar di hadapannya?
Teorinya, agar menggugah, pesan mesti relevan. Mesti terhubung dengan warga. Terkait.
“Oh iya ya…sepertinya di lingkungan saya banyak itu.“
“Minggu lalu tetangga saya juga kena.”
Kalau tidak relevan, data hanya informasi angka semata.
Karena itu, dalam edukasi ala KAP, yang dikedepankan terlebih dahulu bukan data tapi cerita. Khususnya, cerita dari warga sendiri.
Teorinya begini. Sebetulnya, topik pembicaraan paling menarik bagi orang adalah ceritanya sendiri.
Jadi begini.
Dari pada memulai dengan statistik, maka edukator akan memulai dengan bertanya, “Apakah ada di antara kita yang keluarga, kerabat atau sahabatnya terkena penyakit jantung atau stroke? Boleh ceritakan siapa, bagaimana kejadiannya, kondisinya sekarang bagaimana?”
Kalau warga yang berkumpul banyak, lebih dari 10 orang, misalnya 30an, maka edukator membentuk kelompok-kelompok kecil untuk mereka bercerita. Setelah itu, dipilih jubir untuk menceritakan secara singkat ke forum.
Dari pengalaman, komunikasi biasanya berlangsung seru. Karena warga bukan hanya mengangkat kasus tanpa nama tapi cerita ayahnya, ibunya, pamannya atau sahabatnya. Cerita yang disampaikan penuh makna. Penuh deskripsi detail. Juga emosi.
Apalagi bila edukator dapat mendengarkan baik-baik alias nyambung. Ceritanya bisa tebal terbayangkan.
Baru setelah itu, edukator bisa menyelipkan data dan membahas penyakit-penyakit tidak menular itu lebih lanjut. Termasuk menyampaikan klarifikasi bahwa jantung atau stroke bukan penyakit dadakan. Bukan ujug-ujug muncul begitu saja, seperti baterai HP tiba-tiba habis.
Tapi mereka itu penyakit kronis alias pelan-pelan merusak organ tubuh. Dan kita bisa mengetahuinya. Ini pintu masuk pesan tentang CKG.
Kita pun bisa mencegahnya. Ini pintu masuk perilaku hidup sehat.
Kalau warga bertanya langsung, “Bagaimana supaya tahu?” Bagaimana cara mencegahnya?”, maka edukator bisa to the point saja. Tapi kalau tidak ditanya, edukator mesti memasukkan pesan-pesan itu secara halus. Pakai permainan, cerita, menyanyi, shalawat, dll.
Condet, 15 Mei 2025 – RR/ Forum KAP