
Jangan sebut anakku stunting!

Mungkin saking semangatnya, ada petugas yang menyampaikan hasil pengukuran apa adanya. “Nah, anak Ibu ini stunting.” Kebetulan faktanya z score di bawah - 2 SD.
Komunikasi objektif tapi kurang empatik. Temuan disampaikan, tanpa mengindahkan perasaan.
Secara programatik, mengidentifikasi anak stunting memang penting. Tapi mengomunikasikan hasil pengukuran tanpa empatik berisiko merusak program. Orang tua jadi malu, sedih, kecewa, atau marah. Tak sedikit yang mangkir ke Posyandu gara-gara itu.
Bagaimana caranya berkomunikasi empatik di tengah tugas yang penuh ukur-mengukur?
Beberapa hal berikut bisa dipertimbangkan.
Satu, perhatikan komunikasi nonverbal (tanpa kata-kata). Komunikasi nonverbal bicara lebih kencang ketimbang kata-kata. Jika wajah terkejut saat melihat timbangan, meski kata-kata yang disampaikan “Oh, ga apa-apa, kok.”, orang lebih percaya pancaran wajah.
Coba konsisten, jangan berubah drastis. Jika mulai dengan tersenyum, usahakan selalu tersenyum.
Dua, hindari menyebut anak dengan kata-kata terlarang, seperti stunting, kerdil, cebol, kerempeng, kurus, kurang gizi, atau istilah-istilah menghina lainnya.
Ketiga, sampaikan hasil pengukuran seperti melihat gelas setengah penuh. Daripada mengatakan anak ibu kurus, lebih baik katakan tinggal dikit lagi; tak sampai ½ kilo lagi supaya pas nih beratnya.
Keempat, bersikap empati saat mendengarkan latar belakang atau alasan.
1. Bertanya dengan cara menyenangkan. Misalnya, tanya pada anaknya (yang akan dijawab orang tua): “Babas ganteng, sukanya makan apa, sih?”; “Sejak kemarin Babas makannya apa saja? Coba cerita, hayuuk….”
Di lain pihak, hindari pertanyaan yang memojokkan, seperti “Kok, sekarang Babas beratnya turun, ya?”; “Babas ga makan telur tiap hari, ya?”
2. Coba tempatkan diri kita pada lawan bicara saat lawan bicara memberi pennjelasan. “Wah, kalau saya sibuk seperti Ibu, saya juga kerepotan, sulit kalau masak sendiri.”
3. Selaraskan nonverbal. Kalau warga bicara dengan nada khawatir, maka khawatirkan pula nada suara kita. Kalau warga bicara dengan nada riang, maka riangkan suara Anda.
Kelima, selalu cari dan angkat hal positif. Ini namanya bersikap apresiatif. Misalnya, orang tua belum cukup memberi protein hewani tapi sudah cukup protein nabati. “Wah, bagus Ibu Hasan beri tempe setiap hari. Karena tempe itu bagus untuk pertumbuhan, lho.”
Keenam, hanya ketika lawan bicara sudah terlihat nyaman, tek-tokan, dan mendengarkan, maka komunikator menyampaikan pesannya. Itu pun minta izin saja dulu. “Bu Hasan, boleh tidak saya cerita tentang makanan yang bagus juga untuk pertumbuhan?”
Saharjo, 4 Juni 2024 - RR