Kegiatan komunikasi yang dipandang cuma begitu saja

 
Program Inovasi Edukasi Kesehatan

Kegiatan komunikasi yang dipandang cuma begitu saja


 
Kegiatan komunikasi yang dipandang cuma begitu saja

"Ternyata kunjungan rumah itu ada tekniknya. Selama ini to the point. Datang dan bertanya sesuai formulir. Makanya, jadi datar, kurang akrab dengan bumilnya," ujar kader usai ikuti pelatihan KAP.

Tidak salah juga. Bagi sebagian orang, kegiatan komunikasi, seperti kunjungan rumah atau edukasi di Posyandu, memang sering dipandang kegiatan yang begitu saja. Cuma begitu saja. Tak ada perlu ada yang dipelajari. Tak perlu persiapan. Langsung saja. Tinggal temui orangnya, sampaikan pesan. 

Tak heran, para pimpinan suka semudah itu memberi tugas pada barisan komunikator, seperti kader. “(Sampaikan) edukasi isi piringku dan tablet tambah darah ibu hamil sesuai buku KIA.”

Hanya itu petunjuknya. Tak ada tahapan atau alur yang bisa diantisipasi, teknik-teknik pendukung, cara-cara hadapi respon negatif, pesan-pesan operasional seperti cerita dan perumpamaan, dll. 

Seolah semudah itu warga diajak memgubah perilakunya. Sampaikan pesan dan petik hasilnya.

Tapi sayang, kenyataan tidak semudah itu. 

Bagi pihak-pihak yang benar-benar mengandalkan komunikasi untuk mendapatkan hasil, seperti tenaga penjual, maka pelatihan dan persiapan menjadi penting. Saat keberlangsungan hidup tergantung hasil kerja komunikasi untuk perubahan perilaku atau pembelian (transaksi), investasi pada komunikasi jadi tidak main-main.  

Makanya, buku-buku penjualan banyak dirilis, berisi teknik-teknik komunikasi (edukasi, persuasi, motivasi atau apapun namanya) yang terbaru. Riset-riset tentangnya juga tidak kalah banyak. Jurnal-jurnal ilmiah betebaran. Pelatihan-pelatihan, dari yang murah sampai mahal, meramaikan pasar.

Demikian karena kegiatan komunikasi memang diandalkan untuk mendapatkan hasil. Hasilnya sendiri terukur dan mesti dipertanggung-jawabkan.

Bagaimana dengan dunia kesehatan masyarakat?

Sebagian masalah kesehatan lebih berurusan dengan supply sehingga tidak terlalu relevan dengan intervensi atau kegiatan komunikasi. Tapi ada pula yang dominan masalah komunikasi. Biasanya ketika masalah supply kurang lebih sudah atau hampir kelar (obat tersedia, gratis pula, layanan lengkap, mudah diakses, nakes terampil, dll.), namun warga tak minat mengakses layanan, mengakses sebentar lalu mangkir, menolak walau disamperin ke rumah, atau lainnya.

Layanan test IVA/ Papsmear? TTD? Pengobatan TBC? PMT (Pemberian Makanan Tambahan) pada berbagai kelompok? Malaria? Imunisasi? Berhenti merokok?

Kalau mau diperpanjang, daftarnya bisa berlanjut. 

Namun, kenapa kegiatan komunikasi di-taken for granted? Dianggap ya bergitu-begitu saja, tidak perlu dikembangkan, di-riset serius, langsung sajalah, semua pasti bisa dan lain sebagainya?

Nah, ini baru yang tanda tanya beneran. 

 

Condet, 7 Juni 2024 – RR (bahan dari AR)