Program Inovasi Edukasi Kesehatan

Komunikasi Apresiatif


 
Komunikasi Apresiatif

Dengan kapur, mentor membuat titik seukuran jempol di papan tulis. Lalu bertanya kepada kita semua, “Apa yang kalian lihat?”

“Titik putih!” jawab kami bersama-sama.

“Hanya titik putih?” tanyanya kembali.

Semua kebingungan. Celingukan. Saling pandang.

“Kalian cepat melihat yang kecil. Yang jauh lebih besar, terlewatkan. Ini lho! Area papan berwarna hitam ini sesuatu yang bisa kalian lihat juga, kan?”

Nafsu untuk fokus melihat pada hal tertentu acapkali membuat banyak bagian lain terabaikan. Termasuk hal-hal yang sebetulnya positif.

Ini menjadi entry point pembahasan komunikasi apresiatif. Sebagai edukator kita suka bernafsu melihat kekurangan atau kelemahan orang sehingga mengabaikan hal positif yang dilakukan warga.

Karena dari rumah kita berniat untuk memperbaiki perilaku warga, maka dengan sendirinya kita sudah berasumsi: pasti ada yang kurang atau salah pada warga. Kita jadi otomatis fokus pada kekurangan warga ketimbang kelebihan warga.

Masalahnya, warga atau kita sendiri pun tidak suka ditunjukkan kekurangan atau kelemahan kita.

Kalau seorang pasien TBC menceritakan dia hanya bisa minum 2 dari 4 obat yang diberikan, kita mudah bernafsu mengatakan cara pengobatan seperti itu tidak efektif, penyakit sulit sembuh, kuman tidak akan mati karena ini itu.

Padahal, pasien tak suka. Saat kita bicara pentingnya minum semua obat, pasien menutup telinga. 

Komunikasi apresiatif mengangkat dulu hal kelebihan/ hal positif. Misalnya dengan mengangkat manfaat dua obat yang diminumnya. Tujuannya agar pasien merasa senang dulu. Baru setelah itu, edukasi pasien tentang pentingnya meminum 2 obat lainnya.

Bagaimana caranya agar tak bernafsu melihat dan mengangkat kekurangan warga?

Mulai dari rumah. Jangan terlalu berniat memperbaiki perilaku warga. Jangan terlalu berniat mengajari warga. Niatkan saja bersilaturahmi, ngobrol-ngobrol, atau kalau bisa, belajar hal baru dengan warga.

Kalau pun nanti ditemui kekurangan atau kelemahan warga yang mengganggu pikiran, jangan langsung bereaksi, tahan nafsu. Lanjut ngobrol, tanya-tanya agar lebih paham dan dapat berempati. Lalu, cari sesuatu yang bagus padanya untuk diangkat. Contoh (dalam hati):

“Oh, si ibu ini menolak imunisasi karena mengikuti amanah suaminya. Hmm, kompak dengan suami ini. Menjaga amanah orangnya.”

 

 

Pasar Minggu, 4 Oktober 2025 – RR (Forum KAP/ VA)