Program Inovasi Edukasi Kesehatan

Latihan-Latihan Kontrol Emosi


 
Latihan-Latihan Kontrol Emosi

Kalau emosi kena, sulit menjalankan teknik-teknik komunikasi apapun. Meski hafal di luar kepala atau sudah berlatih di kelas, lidah mendadak kaku. Ketika warga bilang, “Silahkan, imunisasi saja anak saya. Tapi kalau ada apa-apa, tanggung jawab, ya!” Atau saat warga marah, “Anak, anak saya. Bukan anak situ. Terserah saya, dong!”

Blank. Lupa, kalau komunikator bisa bertanya agar obrolan tidak terputus. “Apa sih yang bapak khawatirkan?”. Lupa, kalau bisa dibuat_bercanda, “Eh, cantik-cantik begini anak ibu?”

Apalagi teknik seperti bantu warga menyalurkan emosi (venting) atau membalikkan keadaan dengan pertanyan pengecualian (exception question) atau lainnya.

Makanya, selain meguasai teknik-teknik mengelola percakapan sulit, kontrol emosi juga penting. Mesti dilatih. Kata para ahli, kekuatan kontrol emosi itu seperti kekuatan otot. Kalau dilatih, semakin kuat. Kalau tidak dilatih, ya lemah. 

Dalam pelatihan KAP, biasanya ada 3 ragam model yang dicoba-coba partisipan (karena preferensi dan kecocokan setiap orang berbeda-beda). Yang pertama, kontrol nonverbal. Biasanya, kalau emosi, nonverbal berubah, mengacaukan kemampuan verbal. Kalau marah, wajah memerah. Suara keras. Bicara jadi cepat. Makanya, kontrol nonverbal perlu dilatih.  

Di antaranya dengan latihan split focus, bicara dengan mengeja, menunjuk benda tapi menamainya berbeda, nafas, kecepatan suara atau kontrol tubuh.  Split focus adalah metode yang suka digunakan para pemain teater. Dimulai dengan melakukan lalu menghayati gerakan-gerakan tertentu yang kompleks dan tidak terpola. Misalnya, bermain bola. Setelah gerakan main bola terhayati (terlihat juga di mata dan mimik wajah), orang kemudian menyampaikan ceramah yang tak berhubungan dengan gerakan. Gerakan tak boleh terganggu. Termasuk wajah & mata. Antara gerakan dan ceramah dilatih agar berada di jalur masing-masing.

Bicara dengan mengeja dilakukan berpasangan. Mereka mengobrol tapi kata-kata yang dikeluarkan mesti dieja. Misalnya, “a pe a ka a be a er”.

Latihan ketiga menunjuk benda tapi menamainya berbeda. Misalnya, menunjuk pensil tapi disebut mobil. Dan nama-nama yang dikeluarkan seseorang tidak boleh berpola. Tidak boleh: mobil, motor, kereta, pesawat (alat transportasi).

Untuk nafas, latihannya sederhana: hirup dan keluarkan nafas dalam ketukan yang berbeda-beda. Kadang hirupnya satu ketukan, lalu keluarkannya 4 ketukan. Bisa juga pakai tahan beberapa ketuk dan lain sebagainya. Harapannya, saat terserang emosi, kita ingat nafas perlu diatur. Katanya, kalau nafas mudah diatur, emosi bisa dikendalikan.

Atur kecepatan suara mirip dengan atur nafas. Saat tegang kan suara orang terperangkap emosi. Bisa jadi cepat ga keruan. Bisa melambat bergetar, kalau takut, misalnya. Kalau kita bisa atur kecepatan suara, berarti kita pegang kontrol dan lepas dari perangkap emosi.

Model pertama saja belum selesai dibahas, masih ada 2 model lainnya, 1) kontrol dengan menunda dan mengakses pikiran terang, dan 2) framing dan reframing. Mungkin kepanjangan kalau dibuat tulisan ya. Mending dibahas dalam Forum Kemisan saja?

WTC, 16 Oktober 2023 - RR