
Membicarakan masalah (gizi) tanpa masalah

Ada masalah kesehatan yang sensitif dibicarakan. Yang kalau dibicarakan apa adanya membuat orang malu, khawatir, tersinggung, atau malah emosi. Perlu taktik agar masalah seperti itu nyaman dibicarakan untuk membuka kesempatan nakes mengedukasi dan mempersuasi.
Termasuk yang sensitif tapi belum banyak dibahas adalah masalah gizi. Karena langsung mengatakan seorang anak itu stunting, gizi buruk, kurang gizi, kurus, atau obesitas acapkali mendatangkan konsekuensi serius. Orang tua bisa baper, malu, merasa direndahkan sampai terhina. Karena itu, mendekati masalah gizi perlu taktik.
Tidak ada rumusan pasti tapi berikut sekedar contoh-contoh yang dapat dipertimbangkan.
Keakraban adalah kunci. Keakraban dapat menjadi “bemper” bila nakes harus “menubruk” orang tua dengan kabar buruk. Beragam teknik bisa diterapkan. Mulai urusan nama (menggunakan nama dalam percakapan, mengobrol arti nama, menyapa dengan nama anak, atau di suku tertentu, menyapa dengan nama baru saat dewasa atau nama marga), obrolan informal (yang topiknya disukai lawan bicara), cari simpul (pertalian bermakna), nyambung (mendengarkan), dan lain-lain.
Namai dengan sesuatu yang bukan masalah (positif). Dalam tradisi, kita suka menggunakan teknik ini untuk menenangkan orang. Misalnya, menyebut diare dengan ngenteng-ngentengi. Nah, untuk masalah gizi perlu dicari istilah yang menenangkan tapi aktif, bukan tenang pasif/ tidak peduli. Seperti TBC. Karena sensitif, maka tenaga kesehatan mengganti menjadi flek, paru basah atau lainnya agar pasien dan keluarganya tidak malu atau takut sehingga bisa menutup komunikasi, menyangkal atau menolak. Tidak seperti ngenteng-ngentengi, flek tetap dipandang penyakit yang harus disembuhkan. Untuk masalah gizi, kita perlu cari istilah yang pas. Mungkin: minta dimanja (dengan makanan), lagi caper (cari perhatian/ makanan), ngidam, atau entah, perlu dicari.
Fokus ke dampak dari perilaku positif. Contohnya, dari pada menyebut kurus, gizi buruk dll., sebut saja supaya anak pintar. Jadi, jangan bilang “Supaya anak Ibu tidak kurus lagi…” tapi katakan “Supaya kepintaran anak ibu pol (maksimal)”.
Netralkan masalah dengan persamaan. Intinya, supaya terbangun rasa senasib sepenanggungan. “Anak ke-3 saya juga sempat berat badannya seperti Doni ini. Waktu saya ditinggal suami, dia merantau di negeri orang. Mengurus 3 anak sendirian. Capee sekali…”
Buat jadi masalah banyak orang. Intinya, jangan membuatnya seperti masalah eksklusif si orang tua sendiri. Tag ala barat yang sering digunakan: You are not alone alias Anda tidak sendiri. Di kita mungkin perlu di kontekstualisasi, seperti: “Tenang, banyak juga yang mengalami”; “Ada SEKIAN yang mengalami”; “Memang lagi musimnya ini, di mana-mana…..”
Bila taktik membicarakan masalah sudah ditemukan, langkah penting berikutnya adalah menjelaskan dengan cara yang mudah dicerna.
Gunakan bahasa keseharian, cerita, dan perumpamaan agar mudah dicerna. Jangan pakai bahasa juknis atau jargon-jargon sulit. Itu bisa buat orang tua tegang. Padahal kan tadi sudah tenang.
Prodia, 21 November 2024 - RR