
Mencoba Mengurangi Stigma TBC

“Bapak Ibu sekalian, mulai sekarang, mari kita hilangkan stigma TBC di masyarakat. Jangan jauhi pasien TBC. Jangan kucilkan. Kasih semangat agar mereka minum obat sampai tuntas!”
“Horeeee! Prok-prok-prok!”
Ceritanya seorang pejabat berbicara di depan ratusan warga. Selepas itu, warga bertepuk tangan riuh. Stigma pun menghilang tak berbekas.
Too good to be true alias mimpi kali yeee!
Stigma sulit dihilangkan dengan retorika panggung. Bahkan oleh tokoh terpandang sekalipun.
Pernah mengobrol panjang dengan tokoh agama di daerah “sulit imunisasi.” Gara-gara keterlibatannya dalam kampanye, warga memberi stempel menyedihkan: tokoh agama plat merah.
Kalau stigma terlanjur melekat kuat, menghapus atau bahkan menguranginya sulit. Apalagi bila stigma yang sudah diturunkan inter-generasi. Pasti lebih kuat lagi akarnya.
“Sttt….jangan bahas TBC di sini.”
Baru-baru ini seorang rekan edukator muda di kabupaten tetangga Jakarta mengalaminya. Mungkin karena masih muda, warga blak-blakan saja. Kalau tenaga kesehatan atau orang dewasa, warga mungkin diam-diam saja. Diam tapi tidak terima. Pesan masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Lantas bagaimana caranya sekedar mengurangi atau relaksasi stigma? Agar tidak terlalu kencang sehingga membuat warga malu berstatus TBC, buru-buru berhenti berobat, tak mau periksa, dll.?
Perlu pengembangan serius dan di jaman efisiensi ini, Forum KAP ingin menguji coba teorinya kecil-kecilan.
Dalam melihat stigma, orang bukan gelas kosong, yang tinggal isi pesan (yang benar), lalu orang berubah. Tapi orang adalah gelas berisi. Isinya kekhawatiran atau ketakutan dengan sejumlah alasan.
Langsung mengisi gelas hanya membuat pesan kita tumpah ke mana-mana dan tidak tertampung.
Karena stigmanya berakar kuat, maka gelas itu pun sudah memiliki tutup. Menuangkan isi baru ke gelas yang bertutup adalah kesia-siaan maksimum.
Maka itu, tugas edukator pertama kali adalah mengajak warga membuka tutupnya. Lalu, menuangkan isinya. Barulah setelah itu, edukator menuangkan isi yang baru.
Rencananya, di akhir Mei di daerah bernama Rawa Buntu akan dikumpulkan sejumlah edukator untuk dilatih. Mereka kemudian mengajak warga mengikuti sesi KAP membahas TBC dengan ketawa ketiwi. Bukan menertawakan TBC tapi sebelum masuk ke konten, warga diajak bermain-main. Supaya tutup gelas diangkat.
Lalu, semua orang berbicara dan saling mendengarkan. Mesti berbicara karena itu cara warga menuangkan isi pikiran dan perasaanya. Setelah mengapresiasi pikiran perasaan warga, barulah isi (pesan) dituangkan dalam bentuk cerita dan perumpamaan.
Apakah akan berhasil? Nah, ini yang perlu kita cari tahu. Yang pasti, persiapan mesti matang.
Pasar Minggu, 7 Mei 2025 – RR/ Forum KAP