Program Inovasi Edukasi Kesehatan

Mengedukasi Dengan Rendah Hati


 
Mengedukasi Dengan Rendah Hati

Orang yang rendah hati dimuliakan atau ditinggikan.

Ini adalah ajaran agama yang penting dipegang edukator kesehatan.

Penting karena bila dimuliakan/ditinggikan, edukator lebih didengar warga. Kemungkinan diikuti pun lebih besar.

Hmm. Tapi bukankah dua hal itu bertolak belakang? Bukankah seorang edukator justru harus berpengetahuan lebih tinggi dari warga dan menunjukkan kepercayaan diri yang kuat?

Memiliki pengetahuan yang tinggi itu harus. Makanya, harus banyak-banyak belajar. Tapi, merasa diri lebih berpengetahuan dari warga adalah berbahaya. Bisa jadi senjata makan tuan.

Orang tak suka digurui. Terlebih oleh orang belum akrab, tak bereputasi tinggi, & apalagi, sombong.

Sebaliknya, orang suka orang rendah hati, yang kurang berpengetahuan apalagi berpengetahuan.

Jadi, walaupun berpengetahuan tinggi, edukator sebaiknya rendah hati. Demi menjalankan ajaran agama dan juga agar berhasil mengajak warga hidup sehat.

Bagaimana caranya mengedukasi dengan rendah hati?

Berikut beberapa tips sederhana, yang saling berkaitan.

 

  1. Jadilah pembelajar. Jadikan kesempatan berinteraksi sebagai momen belajar dari warga. Munculkan keingintahuan, bukan penilaian. Fokus pada orang dan percayai mereka memiliki pengalaman dan pemikiran menarik digali.
  2. Banyak bertanya dan mendengarkan. Kalau warga memiliki sikap atau perilaku berbeda (yang keliru), jangan terburu-buru menasihati. Tanya-tanya pahami latar belakangnya. Terpenting, dengarkan dengan tulus. Jangan bertanya untuk sekedar memancing orang bicara lalu kemudian kita patahkan/ koreksi. Tapi dengarkan agar lebih paham dan akrab. 
  3. Lihat sisi positif. Selalu ada sisi positif dibalik perilaku sikap seseorang. Kalau seorang ibu tak mau imunisasi karena alasan agama, maka bukankah bagus mempertimbangkan ajaran agama dalam  kehidupannya? (Terlepas dia telah membahayakan anak terserang penyakit menular). Jadi, jangan lihat kesalahan/ kelemahan orang melulu. Sebaliknya, carilah hal positif.
  4. Sampaikan sisi positif itu. Sebelum menyampaikan pesan kesehatan, sampaikan hal positif dari perilaku atau sikap orang (apresiasi). Sampaikan tulus, secara verbal dan nonverbal.
  5. Hindari kesan paling benar. Meski yakin bahwa yang kita sampaikan adalah paling benar tapi agar lebih diterima orang, jangan bersikap paling benar.  “Dari pengalaman saya sih begini….. tapi ini pengalaman pribadi lho, ya.”; “Penelitiannya sih bilang begini…”; “Menurut ahli, bukan kata saya ya, begini…..”; “Sekedar masukan saja ini sih ya…”

 

 

Cilandak, 16 Mei 2025 – RR/ Forum KAP