
Ngomong Dengan Bahasa Lisan vs Bahasa Tulisan

“Orang Indonesia tak suka baca tapi lebih suka ngobrol. Makanya, waktu bicara, jangan pakai bahasa tulisan tapi bahasa lisan.”
Bahasa lisan dan tulisan berbeda dan digunakan dalam kesempatan berbeda. Bahasa lisan digunakan dalam komunikasi tatap muka. Bahasa tulisan dalam surat, artikel, atau lainnya. Meski begitu, praktiknya kadang terbolak-balik, seperti bicara dengan sekumpulan warga pakai bahasa tulisan.
Bahasa lisan itu ekspresif, baik suara maupun wajah. Tuturannya dipengaruhi bahasa ibu satu bahasa sehari-hari. Kalimat sering tidak lengkap. Sama sekali tak pakai rumus SPOK (Subjek Predikat Objek Keterangan). Banyak pakai bunyi-bunyian, yang bukan kata-kata tapi membantu pemahaman. Dan yang penting, sifatnya bukan satu arah tapi banyak ruang umpan balik. Bisa sekedar nyeletuk, komentar, atau bertanya. Intinya, tek-tokan.
Contoh dalam menjelaskan demam berdarah dengue.
“Eh, ga banyak orang tahu, lho. Beneran! Serius! DBD itu demamnya menipu. Kan, begini. Sehari, dua hari, tiga hari orang demam tinggi. Bisa sampai 40 derajat. Panas bener itu! Belum lagi, badan retek-retek, kepala pusiiing eh hari keempat tiba-tiba turun panasnya jadi normal. Dipikir, ah asyiik, sudah sembuh! Berangkat kerja, deh. Tahunya eh tahunya itu menipu. Jebakan. Ternyata masa kritis. Trombosit rendah. Padahal untuk nambal. Kalau ada pendarahan, trombosit nambal alias nyumbat supaya berhenti. Kaya tukang patri nambal panci bolong. Tapi ini karena jumlahnya sedikit, pas pembuluh darah bocor, tidak ada yang nambal. Badan shock. Lewat, deh. Innalillahi wa inna? …….ilaihi rojiun.”
Sementara, bahasa tulisan itu formal. Terdengar datar. Kalimatnya lengkap dengan rumus SPOK (Subjek Predikat Objek Keterangan). Kata-katanya pun lengkap dengan imbuhan yang sesuai. Sifatnya satu arah. Saat narasumber berbicara dan warga mesti mendengarkan. Tanya jawab nanti setelah narasumber selesai berbicara.
Contoh bahasa tulisan kurang lebih seperti ini.
“Mungkin tidak banyak orang yang mengetahui bahwa demam DBD berbeda dengan demam lainnya seperti flu. Dikenal sebagai demam pelana kuda, DBD mengakibatkan demam tinggi sampai 40 derajat dan disertai gejala lain seperti sakit kepala atau otot. Demam fase pertama berlangsung 3 hari dan di hari keempat terjadi penurunan suhu tubuh yang membuat orang mengira dirinya sudah sembuh. Karena itu, orang kemudian melakukan kembali kegiatan sehari-harinya seperti bekerja atau bersekolah. Padahal, orang sebetulnya berada di masa kritis dimana terjadi penurunan trombosit yang meningkatkan risiko pendarahan. Pada fase kematian sering terjadi.”
Orang Indonesia lebih suka ngobrol ketimbang baca. Bukan hanya demi kemudahan mencerna pesan tapi inti dari ngobrol memang mesti tek-tokan.
Makanya, edukator KAP mesti menggunakan gaya bahasa lisan saat menyampaikan pesan. Bukan bahasa tulisan. KAP kan mesti tek-tokan.
Jaksel, 15 Agustus 2025 – RR (Forum KAP/ VA)