Program Inovasi Edukasi Kesehatan

Pemilihan kata yang menggiring drop out komunikasi (TBC)


 
Pemilihan kata yang menggiring drop out komunikasi (TBC)

Pilihan kata menghasilkan makna tertentu, mempengaruhi cara pandang, pola interaksi, norma, dan kemudian realitas tertentu. Contohnya yang dilakukan Belanda dulu.

 

Waktu berusaha menaklukkan Aceh, Belanda menghadapi perlawanan hebat. Dikabarkan, orang Aceh secara individual berani menyerang siapapun dari pihak Belanda. Penjajah ketakutan. Membuat mereka pun tidak berani bawa keluarga ke Aceh. 

 

Mendapati perlawanan semesta nan nekat semacam itu, Belanda menamai orang Aceh, Aceh Pungo (Aceh gila). Bukan sekedar menyebut-nyebut, penjajah pun membuat kajian ilmiah dengan melibatkan para ahli dan menyiimpulkan kejiwaan: orang Aceh terganggu. 

 

Akal bulusnya, terbentuk label negatif. Agresi penjajah sekeji seperti nantinya bisa memperoleh pemakluman dunia (barat). Kan, lawannya orang gila. 

 

Interaksi layanan kesehatan dan warga tidak luput dari pemilihan kata, yang sadar atau tidak sadar, membawa akibat tertentu. Coba kita perhatikan dunia TBC.

 

Penggunaan kata sasaran menempatkan nakes atau kader sebagai pihak yang menentukan atau berkuasa. Sementara, warga sebagai pihak diam, dibidik, atau diburu. Posisinya jadi objek semata.

 

Istilah suspek malah membawa kesan warga sebagai pihak yang salah, karena telah berbuat salah.

 

Lalu tagline: Temukan TBC Obati sampai sembuh, kembali lagi, nakes dan kader berkuasa. Pasien atau warga adalah pihak pasif, diam, dan dikenai perlakuan.

 

Secara umum, pemilihan kata-kata di atas membentuk persepsi diri nakes atau kader yang superior, sementara pasien/ warga cenderung inferior. Bisa dimaklumi bila yang menganggap diri superior menuntut pihak inferior hanya manut. Nurut. Tidak boleh protes.

 

Suara atau pendapat pasien atau warga dianggap tidak penting. Sulit berharap dialog yang saling mendengarkan dan memahami. 

 

Maka itulah, mudah terjadi communication breakdown atau gangguan komunikasi, seperti beda pemahaman. Bahkan tidak jarang muncul kasus drop out komunikasi. Pasien atau warga keluar atau berhenti berkomunikasi. Misalnya, tidak datang lagi ke layanan, memilih layanan lain seperti herbalis, menutup pintu saat dikunjungi dll.

 

Jadi, drop out di sini bukan hanya berhenti minum obat tapi berhenti berinteraksi. Dalam perspektif komunikasi, ini jauh lebih serius.

 

WTC II, 12 Februari 2024 - RR