
Pendekatan Edukasi Imunisasi

Pada kelompok masyarakat yang diketahui bersikap menolak, kegiatan edukasi lebih diutamakan dengan pendekatan yang indirect (tidak langsung), implicit (tersirat), atau zooming out.
* Indirect atau tidak langsung. Misalnya, di awal percakapan bicarakan terlebih dahulu topik yang disukai lawan bicara atau yang disebut sebagai obrolan informal (Untuk gambaran detail, lihat Bab Teknik KAP). Misalnya, komunikator memulai dengan percakapan tentang pekerjaan, hobi atau prestasi anak. Tujuannya adalah membangun kepercayaan dan kenyamanan berkomunikasi. Cara lain, khususnya dalam edukasi kelompok, adalah dengan menjalankan permainan yang dapat membuat orang-orang bergembira. Setelah nyaman, barulah masuk ke topik imunisasi polio.
* Implicit (tersirat). Bila warga sensitif dengan layanan imunisasi, maka komunikator tidak perlu menyebut kata imunisasi. Misalnya, bila tokoh agama khawatir terbentuk pandangan yang kurang baik terhadapnya bila mempromosikan imunisasi, maka beliau dapat menggantikan dengan cara membuat anak kebal atau membuat anak tidak mempan diserang penyakit.
* Zoom out atau membahas tema yang lebih umum yang mudah diterima dan di mana imunisasi termasuk di dalamnya, secara tersirat ataupun tersurat. Misalnya, dari pada membicarakan agenda khusus tentang imunisasi, komunikator dapat membahas cara-cara mencegah anak sakit, yang di dalamnya tersurat atau tersirat topik tentang imunisasi.
Pada kelompok masyarakat yang selama ini dikenal mendukung imunisasi, edukasi dapat bersifat direct (langsung), explicit (tersurat), atau membahas imunisasi secara lebih dalam (zoom in).
Diambil dari buku KAP untuk PIN Polio
- Pesan polio menakutkan yang produktif -
Pesan menakutkan bisa kontraproduktif, bisa juga produktif. Seperti jaman COVID-19 dulu, pesan menakutkan virus corona sempat membuat orang memborong barang-barang tertentu. Bukannya, stay at home, malah rebutan susu kaleng, yang ternyata zonk.
Tapi pesan menakutkan juga bisa produktif. Dengan kata lain, menghasilkan perubahan perilaku yang diharapkan. Pasti ada peluang. Kalau tidak, Tuhan pasti tidak akan menggunakan pesan menakuti-nakuti manusia, khususnya dengan neraka.
Polio, sebagai penyakit yang berbahaya karena buah anak lumpuh seumur hidup tak terobati, juga bisa memakai pesan menakutkan agar orang tua mau imunisasi. Dengan catatan, asalkan produktif.
Menurut EPPM (Extended Parallel Process Model), mirip pesan surga neraka, syaratnya adalah 1) benar-benar menakutkan, & 2) digandeng rapat pesan cara pencegahan yang manjur dan mudah.
Bener-bener menakutkan itu bila orang memandang konsekuensi polio sangat serius (severity) dan anak saya bisa terkena (susceptibility).
Gandengannya, pesan cara mencegah yang manjur & mudah dilakukan. Cuma dua tetes. Kelar.
Disebut mirip pesan surga neraka karena neraka disampaikan ke manusia dengan gambaran yang menakutkan, sangat pedih, ngilu, dan sengsara. Tidak ada ringannya sama sekali di sana. Tidak ada itu tempat ngiuh, yang rindang, atau keran air minum.
Sejurus setelah itu, Tuhan jelaskan cara menghindari yang mudah. Cuma begini begitu saja, kok.
Dalam kasus polio, ada juga komunikator yang khawatir ekses pesan menakutkan. Takut kontraproduktif. Makanya, dia memilih meyampaikan yang kurang menakutkan. Polio tak mudah menyebar. Imunisasi buat berjaga-jaga saja. Atau kelumpuhan bisa diatasi dengan terapi, dll.
Maksudnya sih membuat orang tenang tapi hasilnya bisa menyesatkan karena orang justru lupa atau tidak terlalu semangat dengan imunisasi.
Lebih ruwet lagi jika ditambah pesan cara mencegah yang ribet. Misalnya, makan makanan bergizi seimbang, makan buah, protein dll. Lalu, WC mesti aman dengan tangki septik yang kedap air, berkamar dua untuk pengendapan, dll.
Itu seperti meringan-ringankan kondisi neraka tapi membuat sulit masuk surga. Kalau begitu sih, siapa yang semangat masuk surga?
Bila dilihat secara keluruhan, pesan EPPM sebetulnya tidak menakutkan tapi justru menggembirakan. Perhatikan saja ujungnya. Ah, cuma begitu saja caranya? Siiplah, kalau begitu!
Ini respon yang diharapkan dari khalayak.
Condet, 10 Juli 2024 - RR