Program Inovasi Edukasi Kesehatan

Pentingnya Bersikap Apresiatif


 
Pentingnya Bersikap Apresiatif

Seorang edukator kesehatan sebaiknya memiliki sikap apresiatif. Meski minimalis, jangan sampai tidak bisa bersikap apresiatif. Jadi, jangan sampai edukator mengeluarkan pernyataan seperti:

“Kader-kader pengetahuannya nol besar!”

“Mereka tidak tahu sama sekali tentang stunting!”

Ada dua alasan penting mengapa edukator perlu memiliki sikap apresiatif. Pertama, terkait dengan warga yang dipersuasi. Yang kedua, terkait komunikator sendiri.

Kebanyakan orang tidak akan suka ditunjukkan kelemahan atau kekurangannya. Sebaliknya, orang akan lebih senang bila ditunjukkan kelebihan atau kekuatannya.

Dalam persuasi, sikap apresiatif atau menghargai kelebihan/ kekuatan merupakan salah satu cara untuk membuka “pagar” warga. Pagar ini yang menentukan apakah pesan komunikator dapat diterima oleh warga atau numpang lewat saja. 

Bersikap apresiatif artinya interaksi dimulai dengan menunjukkan kelebihan atau kekuatan orang, baru kemudian menambahkan pesan terkait perilaku yang disarankan.

Semisal, seorang pasien TB dijumpai tidak mengenakan masker tapi malah mengantonginya, maka kita punya pilihan pesan sbb.,

“Pak, kok tidak dipakai masker? Harus dipakai, dong. Nanti bisa menularkan ke anggota keluarga lain. Ayo, dipakai sekarang ya, pak!”

Atau

“Wah, bapak sudah bawa makser, nih. Berarti bapak sudah bersiap menjaga kesehatan orang lain. Mantap. Supaya lebih mantap, sekarang saja pakai maskernya, pak. Besok-besok langsung dipakai ya, pak.” 

Kebanyakan orang merasa lebih senang mendapatkan percakapan kedua ketimbang pertama. Karena orang merasa dihargai. Penghargaan membuat orang senang. Kalau sudah senang, pagar akan terbuka. Persuasi jadi lebih mudah.

Kedua adalah terkait komunikator, khususnya kesehatan mentalnya. Kalau komunikator melihat dunia ini selalu penuh dengan kekurangan, dunia akan terasa muram. Perasaan-perasaan negatif lebih mudah berkecamuk. Sedih, kesal, marah, dll. 

Upaya edukasi/ persuasi terasa berat dilakukan saat perasaan negatif berkecamuk. Komunikator akan lebih sensitif pada respon negatif warga, meski halus, dan itu akan menguras enerji.

Sebaliknya, bila komunikator melihat banyak harapan, dunia terasa lebih nyaman. Otak jadi mampu berpikir cepat. Lidah mudah diarahkan. Kreativitas muncul tiba-tiba. Upaya komunikasi pun jadi lebih bersemangat. Dalam jangka panjang, mental jadi lebih sehat. 

WTC, 3 November 2023, RR