
Strategi Untuk Penyakit Menakutkan Dan Yang Diremehkan

Untuk penyakit-penyakit yang ditakuti, sampai membentuk stigma yang membuat orang sakit dijauhi atau dikucilkan, KAP memilih strategi mengikuti arus, validasi ketakutan warga, lalu menyelipkan cerita-cerita baru. Cerita-cerita itu bertujuan membuka wawasan bahwa penyakit yang ditakuti itu sebetulnya tak semenakutkan amat. Sampai orang bilang, “Oh, kalau gitu ga nular ke saya, dong.”
Untuk penyakit-penyakit yang dipandang remeh, yang tidak ditakuti sehingga warga tidak ambil pusing, KAP memilih jalur menakut-nakuti. Menunjukkan keseriusan dan kesengsaraan akibat penyakit itu. Menggambarkan penularan yang mudah sehingga warga memahami dan merasakan lalu bertanya: “Cara mencegahnya bagaimana?
Contoh penyakit menakutkan adalah TBC. Ketakutannya bersumber dari 1) takut tertular dan 2) akibat yang menyengsarakan sampai mematikan.
Dalam mengedukasi, edukator tidak ujug-ujug menyampaikan narasi baru, misal TBC bisa disembuhkan! Namun, memilih mendengarkan warga menyampaikan perasaan (emosi) takutnya.
Teorinya, saat menyampaikan perasaan, semua orang tidak ingin dipatahkan, didiiamkan atau dialihkan (diganti topik). Tapi, warga berharap diakui, divalidasi. Jadi, jangan dikoreksi. Ikuti saja ceritanya.
TBC mudah menular lewat udara. Orang menjauh, tidak mau dekat-dekat orang sakit TBC….
Nah, saat mengelaborasi cara penularan, selipkan cerita baru. Di ruang tertutup kuman TBC mengambang 1-2 jam. Kalau dibuka jendelanya, kuman terbawa angin dan terpencar. Apalagi kalau ngobrolnya di luar, akan terpencar angin. Seperti preman, kalau sendirian, tidak berbahaya.
Cerita lain yang perlu dikenalkan untuk mengurangi ketakutan: kuman terhirup tak langsung membuat orang sakit tapi ada masa berantem dulu dengan pendekar (masa inkubasi) dan 3 hasilnya (menang, kalah, seri). Lalu, orang yang sakit tidak terus-menerus menularkan penyakit melainkan hanya 2 minggu dengan catatan: minum obat teratur.
Contoh penyakit yang diremehkan adalah diare, yang disepelekan karena umum, keseringan atau karena ada persepi positif di masyarakat (misalnya, diare tanda pertumbuhan dan perkembangan).
Maka, edukator menceritakan betapa banyaknya bayi meninggal karena diare. Dia pembunuh nomor 2, saingan dengan ISPA. Beda dengan orang dewasa, bayi kalau kena diare sengsara karena organ tubuh rusak. Apalagi diare berat, yang tak bisa ditangani di rumah karena bayi tidak merespon ASI atau minuman lain. Minuman/ makanan mesti dimasukan lewat infus. Kalau telet, lewat!
Warga mesti paham dan takut agar tergerak merhatiin. Kalau telat, walau sehari dua hari, bisa lewat. Kejadiannya sudah banyak.
Jadi, strateginya memang tidak bisa seragam. Setiap masalah kesehatan acapkali membawa masalah perilakunya masing-masing. Ada yang khas sehingga perlu pendekatan unik. Ada yang bisa dikelompokkan. Edukator mesti jeli dan sering-sering coba.
Kantor Walikota Jaksel, 11 Juni 2025 – RR/ Forum KAP