Program Inovasi Edukasi Kesehatan

Teknik Bertanya & Mendengarkan Kok Jadi Interogasi?


 
Teknik Bertanya & Mendengarkan Kok Jadi Interogasi?

Seorang rekan promkes bertanya, kenapa di lapangan aplikasi teknik bertanya dan mendengarkan terlihat seperti menginterogasi orang? Ibu hamil atau ibu balita seperti pesakitan di depan tenaga kesehatan. Ditanya bertubi-tubi. Mereka hanya bisa pasrah menjawab.

 

Apakah ini masalah tingkat keterampilan (mengaplikasikan teknik)?

 

Hmm, masalahnya belum tentu keterampilan tapi bisa lebih mendasar, yang agak filosofis, yaitu untuk apa komunikator bertanya. 

 

Saya teringat ada modul-modul perubahan perilaku yang menempatkan teknik bertanya dan mendengarkan sebagai upaya untuk melakukan penilaian, memahami perilaku, mengumpulkan informasi, mengidentifikasi masalah perilaku dan lain sebagainya. Di sini, bertanya dan mendengarkan menjadi bagian dari komunikasi intrumentalis. Artinya, komunikator bertanya dan mendengarkan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu.

 

Lawannya adalah komunikasi relasional. Di sini, bertanya dan mendengarkan ditujukan untuk mengembangkan hubungan. Jadi, komunikator bertanya dalam rangka mengenal orang lebih jauh, mengakrabkan, membangun rasa saling percaya, berteman baik, dan lain sebagainya. Dalam komunikasi relasional, perubahan perilaku bukan tujuan utama. Tapi semacam hasil sampingan atau tujuan kedua. 

 

Saat bertanya dan mendengarkan karena mengejar sesuatu (komunikasi instrumentalis), komunikator jadi terpancing atau terlalu bersemangat untuk mengejar target-target itu. Dia kemudian menempatkan lawan bicara sebagai objek yang mesti menyediakan apa yang dikejar. Kalau belum dapat apa yang dikejar, dia tidak puas, dan terus mengejar. Akibatnya, lawan bicara cenderung menjadi objek semata. Lawan bicara seperti dieksploitasi atau ya, jadi semacam pesakitan begitu.

 

Di lain pihak, kalau teknik bertanya dan mendengarkan tidak ditujukan untuk mengejar sesuatu (komunikasi relasional), maka tidak ada yang perlu dikejar selain bertambah akrab. Santai saja. Ngobrol topik-topik yang disukai. Tentang masa lalu yang menarik. Peristiwa-peristiwa yang aneh. Cari simpul-simpul yang membuat percakapan penuh enerji. Saling mendengarkan. Katanya, mangan ora mangan ngumpul. Ketawa-ketiwi. Apapun boleh diobrolin, yang penting bertambah akrab.

 

Akibatnya, komunikator akan menempatkan lawan bicara sebagai subjek. Teman. Komunikator tidak mengendalikan percakapan sendirian. Lawan bicara pun harus bertanya supaya percakapan hidup. Di ujung ngobrol, lawan bicara senang, komunikator juga senang. Tidak ada merasa dikuras.

 

Saya rasa akar masalahnya lebih ke cara pandang ketimbang keterampilan. Lagi pula, teknik bertanya dan mendengarkan itu bukan teknik baru, yang baru muncul dari entah berantah. Semua kita ahli melakukannya saat mengobrol dengan teman. Tek tokan. Berjam-jam mengobrol pun tidak terasa. Tetap asyik. Saling mendengarkan. Saling cerita. Percakapan mengalir lancar.

 

Lantas, kenapa teknik itu tidak muncul saat mewawancarai warga, ibu hamil atau ibu balita? Nah, itu dia, karena tujuannya berbeda. Jadi, bukan masalah keterampilan.

 

WTC, 21 September 2023 - RR