Tidak Mendiktekan Makna

 
Program Inovasi Edukasi Kesehatan

Tidak Mendiktekan Makna


 
Tidak Mendiktekan Makna

“Rekan-rekan, berikutnya kita akan mengikuti sesi ice breaking yang menyenangkan, yang akan membuat semua tertawa, bertambah akrab sehingga rekan-rekan dapat mengikuti sesi berikutnya dengan nyaman. Siap ya?”

Dalam pendekatan ala KAP, komunikator diajak menghindari pengantar seperti di atas. Bukan hanya di sesi selipan, seperti ice breaking atau energizer, tapi juga di sesi permainan pembelajaran, pembahasan konten, atau penutup di akhir.

Alasan utama: makna tidak bisa didikte.

Penjelasannya begini. Ada perbedaan antara pesan (_message_) dan makna (_meaning_). Meminjam istilah ekonomi, produsen pesan adalah komunikator. Produsen makna adalah khalayak/partisipan. 

Dalam proses komunikasi, mustahil pesan plek-plek sama dengan makna. Kan, rambut sama hitam, hati masing-masing. Yang boleh diharapkan adalah kesamaan atau irisan. Komunikator menyampaikan, “Imunisasi itu penting untuk menguatkan kekebalan tubuh anak dari penyakit-penyakit berbahaya yang ada di sekitar kita.” Lalu warga berpikir, “Wah, penyakit-penyakit berbahaya ternyata masih banyak di sekitar kita.”

Kemungkinan lain, muncul perlawanan. Misalnya, komunikator mengatakan: “Penyakit campak itu berbahaya sekali bagi anak.” Warga mengambil makna: “Campak itu kan bisa sembuh sendiri. Bahaya apanya?”

Produsen makna tidak bisa diganggu gugat kewenangannya. Mendiktekkan makna pada partisipan hanya berisiko memunculkan perlawanan. 

Kecuali kalau komunikator adalah bestie bener partisipan. Omongannya 100% dipercaya. Tapi kenyataannya, kebanyakan komunikator adalah pihak eksternal.

Kalaupun ada hubungan struktural antara komunikator dan partisipan, perlawanan makna masih bisa terjadi. Perlawanan dalam hati bawahan. Tidak ditunjukkan. 

Hubungan darah seperti orang tua-anak sekalipun tidak menjamin. Kalau anak disuruh diam dan mendengarkan, dalam hatinya bisa muncul banyak pendapat, yang tidak selalu sejalan dengan pendapat orang tua. 

Kalau perlawanan terjadi, jangan berharap ada perubahan sikap atau perilaku. Pesannya saja tidak diterima.

Pendekatan ala KAP ingin memberi ruang bagi partisipan membentuk maknanya sendiri tanpa didikte. Tujuannya ya itu tadi, supaya tidak memicu perlawanan makna.

Jadi, saat memulai sesi, komunikator langsung saja mengajak partisipan mengalami sesi dengan panduan singkat. Tidak perlu ba bi bu tentang apa yang akan dialami atau apa manfaatnya nanti. Nanti setelah usai, komunikator yang berhasil akan mengobservasi hasil positif dari sesinya. Misalnya antara partisipan berkomentar:

“Kayanya, teknik mengajak orang ini bisa diterapkan di keluarga.”
“Bukan hanya gizi, KAP pun bisa dipakai di imunisasi.”
“Tetangga perlu tahu nih tentang cara tangkal hoax.”
“Cepat sekali ya acaranya. Tidak terasa.”

Kalau mengamati hasil seperti itu, jangan lupa bersyukur ya.

WTC, 22 Agustus 2023 - RR