Lebih dari sepertiga penduduk Indonesia merupakan perokok, demikian apa yang diungkapkan Menteri Kesehtaan Nila Moeloek saat membuka Indonesian Conference on Tobacco or Health Mei 2017 lalu.
Jika bicara angka, hal itu tentu tidak mengherankan, mengingat merokok sudah dianggap hal yang “wajar” di kalangan masyarakat, meski hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Namun, yang paling mengejutkan dari jumlah perokok di Indonesia adalah, fakta bahwa perokok tidak hanya disumbangkan oleh orang dewasa saja, anak-anak di bawah umur pun turut menjadi penyumbang angka perokok yang cukup besar di Indonesia.
Tobacco Control Atlas ASEAN menunjukan data di mana jumlah perokok di bawah umur di Indonesia sudah kepalang mengkhawatirkan. 30 persen anak Indonesia mulai merokok bahkan sebelum genap berusia 10 tahun. Diperkirakan jumlahnya mencapai 20 juta anak, dan terus naik tiap tahunnya.
Tak hanya menjadi perhatian nasional, tingginya peredaran rokok di Indonesia juga disoroti negatif oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). WHO menempatkan Indonesi sebagai pasar rokok tertinggi ketiga dunia seteklah Cina dan India. Bahkan, prevalensi perokok di Indonesia disebut-sebut yang tertinggi di dunia. “Kebiasaan merokok di Indonesia telah membunuh setidaknya 235 ribu jiwa setiap tahun,” imbuhnya.
Dari fakta tersebut, kerugian akibat rokok tak hanya diderita oleh individu dan orang-orang di sekitarnya, negara melalui setiap program jaminan kesehatannya pun harus turut menanggung kerugian akibat sikap tak acuh perokok dari risiko penyakit yang ditimbulkan.
Hasil riset terbaru yang dilakukan oleh Soewarta Kosen (Policy Researcher, Kementerian Kesehatan RI) bersama dengan WHO Indonesia, yang bertajuk Riset terbaru: kerugian ekonomi di balik konsumsi rokok di Indonesia hampir Rp600 triliun, menunjukan angka kerugian makro-ekonomi yang harus ditanggung oleh negara sebesar Rp600 triliun.
Bagi individu perokok, bahaya dari merokok sudah bukan lagi hal yang asing. Setiap perokok sadar betul apa-apa saja bahaya kesehatan yang akan ia derita ketika menjadikan “merokok” sebagai bagian dari kebiasaan.
Setidaknya ada 74 kerugian akibat merokok yang dapat dengan mudah perokok sadari, baik dampak langsung maupu tak langsung.
Dampak langsung tentu saja berimplikasi pada kondisi kesehatan perokok, mulai dari risiko, gangguan kesehatan, hingga ancaman serius dari kematian akibat sejumlah penyakit kanker. Dampak tak langsung juga dapat dirasakan mulai dari larangan bekerja di sejumlah perusahaan, penuaan dini, boros, risiko depresi dan lain sebagainya.
Sayangnya, para perokok tersebut cenderung menyepelekan akibat-akibat yang bisa ditimbulkan dari “merokok”. Bahaya dari merokok bisa dikatakan sebagai penyebab kematian yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan gabungan beberapa penyakit paling mematikan di dunia.
Tak peduli pada kesehatan sendiri, “merokok” juga menyandera hak hidup, bahkan pada mereka yang tak merokok sekalipun. Mereka yang terpapar asap rokok meski bukan perokok tak kurang berisiko mengidap berbagai gangguan kesehatan dan penyakit serius.
Mereka justru adalah yang paling dirugikan dari “kewajaran” merokok di masyarakat Indonesia. Asap yang dihembuskan dari rokok disebut asap utama, sedangkan asap yang melayang dari rokok yang masih menyala disebut asap sidestream. Kombinasi asap utama dan sidestream yang terhisap oleh seseorang disebut perokok pasif.
Gangguan kehamilan, risiko penyakit akibat gangguan pernapasan, risiko penyakit jantung dan stroke, bahkan risiko kanker membuat hak hidup perokok pasif lebih “tersandera” dibanding perokok aktif.
Meski bisa dikatakan sebagai perwujudan kepandiran, tetap saja merokok dianggap sebuah kewajaran di kalangan masyarakat. Bahkan, Survei Ekonomi Nasional 2014 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pengeluaran masyarakat untuk konsumsi tembakau dan sirih adalah sebesar 11,4 persen dari total pengeluaran untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Ironis, hal yang begitu mematikan justru menjadi bagian dari kebutuhan pokok seseorang.