Pagar Menimpa Tanaman / Cerita Identitas


Pagar Menimpa Tanaman / Cerita Identitas

IDENTITAS

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), identitas berarti ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri. Identitas menunjukkan pada ciri atau tanda yang dimiliki seseorang, baik pribadi maupun kelompok. 
Identitas diperlukan untuk dapat membedakan satu hal diatara banyak hal yang dianggap serupa. Tulisan ini mencoba mengangkat sisi lain dari pemberian identitas, yang semula diberikan dengan niat yang baik (sebagai pagar), akan tetapi dikemudian hari, jika tidak diterangi dengan kesadaran, akan runtuh dan menimpa tanaman.

Undangan dari teman

Dengan rahmat dan karunia-Nya, telah lahir anak kedua kami yang bernama (........) pada hari, tanggal, tahun dengan sehat, lancar, selamat, dan penuh kemudahan. Sebagai ungkapan syukur kepada-Nya, kami mengundang Bapak/Ibu untuk hadir dalam acara syukuran yang akan dilaksanakan pada: ....
Demikian sepenggal kalimat undangan dari seorang teman.  Undangan ini merupakan upacara pemberian identitas paling awal diterima seorang anak.

  1. Anak kedua “kami”

    Penambahan kata “kami” merujuk kepada kepemilikan atas sesuatu. Banyak orang tua yang menganggap anak adalah “milik” mereka.  Sebagai milik yang berharga maka sudah sewajarnya pasangan orang tua merencanakan pertumbuhan dan perkembangan “asset” ini. Orang tua sudah merancang masa depan anak mereka. Anak harus menjadi dokter atau presiden atau pilot. Anak ini kelak akan meneruskan perusahaan ku, meneruskan nama besar keluargaku. 
    Orang tua biasanya merencanakan banyak hal,  terutama impian yang tidak terjadi di didalam kehidupannya mereka. Misalnya, ayah yang wkatu muda nya terobsesi menjadi TNI tetapi gagal, ketika memiliki anak  laki-laki, ia akan tekatkan anak ini HARUS menjadi TNI sesuai impiannya dahulu.  Jika orang tua terobsesi dengan dokter? Maka anak harus menjadi dokter demikian seterusnya.
  2. Yang bernama....

    Pemberian nama oleh orang tua lengkap dengan nama keluarga, gelar kebangsawanan (sesuai adat istiadat orang tua) ditujukan untuk membedakan  dan menunjukkan status sosial mereka. Bahkan ada beberapa orang tua yang lebih mendramatisasi dengan pemberian akun sosial untuk anak-anak  mereka yang baru lahir.

 

INKLUSIVITAS : IDENTITAS SEMESTA

Seorang anak adalah anugerah Tuhan (Semesta) yang di”titip”kan kepada sepasang orangtua. Pemahaman mendalam akan peryataan ini akan mendorong orangtua melihat dari sisi yang sangat berbeda.
Anak diibaratkan bibit tanaman, adalah milik Semesta yang dititip kepada tangan petani. Mereka lahir dengan sudah membawa potensi masing-masing.  Tugas orang tua adalah menyiram dan menyiangi mereka dengan  oleh “pola asuh” yang positif dengan ke insyafan bahwa bibit pohon mangga bagaimanapun upaya kita, tidak akan mengeluarkan buah durian.

Pola asuh positif dimulai dengan pernyataan bahwa anak adalah milik semesta. Nama, status sosial hanyalah label luar  untuk memudahkan identifikasi sewaktu proses penanaman. Tanah yang berlabel “keluarga A, keluarga B” hanya wadah sementara akar mereka bertumbuh dan tunas muda mulai keluar. Anak diajarkan bahwa mereka adalah bagian dari semesta dan potensi (kepintaran, bentuk fisik dsb) adalah sesuatu untuk di terima dan bukan untuk dibandingkan, apalagi dipertentangkan.

 

Ketika Rencana Bertemu Kenyataan

“Tuhan tidak sedang bermain dadu dengan alam semesta” demikian ungkap Einstein.  Ini berarti, bagi Einstein, alam semesta bekerja berdasarkan hukum-hukum yang pasti dan tidak ada ruang untuk kebetulan atau ketidakpastian. Semua peristiwa sudah ditentukan sebelumnya oleh kekuatan-kekuatan yang tak terhindarkan.

Banyak kasus yang kita temukan, anak bertumbuh dan berkembang tidak sesuai dengan rencana awal kedua orang tua. Sebuah rencana yang diatur untuk seorang anak puluhan tahun ke depan, dapat hancur berantakan oleh sebuah mahluk seukuran virus seperti pada pandemi COVID-19 yang lalu. Bukan itu saja,Kematian orang tua pada usia muda, kehancuran bisnis keluarga karena ditipu orang terdekat dan banyak lagi keyataan yang sepertinya melawan rencana besar kedua orang tua. Anak yang semula tumbuh besar dengan identitas yang kaku, lingkkungan yang sangat terkontrol kini dihadapkan pada dunia yang tidak pasti, dan pagar-pagar yang sudah didirikan oleh almarhum orang tua mereka tampaknya tidak dapat lagi memberikan perlindungan. 
Apakah yang sebaiknya kita berikan kepada anak-anak kita?

 

Pola Asuh Positif

Pemikiran adaptif yang muncul setelah merenungkan kejadian diatas adalah alih-alih mendirikan pagar tinggi untuk menjaga tanaman adalah baik, akan tetapi lebih baik mendukung agar tanaman memilik akar yang kuat yang mampu membuat mereka bertahan dari terjangan angin dan badai kedepan harinya. Tanah sebagai simbol lingkungan, dapat dikondisikan oleh orang tua sebagai lingkungan yang supportif yang memberi tempat bagi kesalahan dan perbaikan menjadi daun yang baik untuk mensintesa pengalaman-pengalaman menjadi guru terbaik.

Menanam pohon mangga, janganlah memaksanya menghasilkan buah durian. Tugas petani (orang tua) hanyalah menjamin lingkungan yang positif bagi tumbuhnya bibit tersebut (tersedianya tanah yang subur, kendali atas hama dan gangguan binatang perusak dsb) selebih nya, membiarkan hukum semesta bekerja. Hukum tabur-tuai, hukum gestasional, hukum pertukaran dsb. Petani tidak perlu setiap bulan menggali bibit yang ditanam untuk memastikan akar sudah keluar dan tunas telah tumbuh. Petani menunggu dan menyiangi, menyiramnya dengan air dan doa agar bibit bisa tumbuh besar, menghasilkan daun yang rindang untuk burung-burung berteduh dan buah yang manis untuk dinikmati. 
Lalu apa yang dilakukan ketika badai datang? Persiapan tentunya.

 

Pertolongan Pertama Pada Luka Psikologis

“Malang tak dapat ditolak” demikian peribahasa lama mengatakan. Kita tidak dapat melindungi anak 100%. Akan ada waktu nya ia berkenalan dengan luka. Baik luka secara fisik atau psikis. Untuk luka fisik kita dapat menerapkan P3K (Pertolongan pertama pada kecelakaan) dengan harapan luka fisik tersebut ditangani dengan cepat dan diberikan lingkungan yang bersih untuk luka tersebut dapat menyembuh. Bagaimana dengan luka psikologis?

Luka psikologis adalah perasaan tidak nyaman yang sifatnya berlebih dan mengganggu aktivitas keseharian yang disebabkan oleh kejadian berat atau (yang dianggap sebagai ) krisis. Krisis yang dimaksud disini adalah insiden atau peristiwa yang penuh tekanan yang dianggap luar biasa. Kita semua dapat menjadi First Aider. Pertolongan yang diberikan baik sebagai salah satu metode self-help maupun untuk memberikan dukungan psikologis kepada orang-orang di sekitar kita yang sedang mengalami stres negatif/tekanan sehari-hari sebelum mendapatkan bantuan tenaga kesehatan. (https://link.kemkes.go.id/BukuSakuP3LP) 

"Bukan tentang apa yang kamu tinggalkan untuk anak-anakmu, melainkan apa yang kamu tinggalkan dalam diri anak-anakmu."

"Bukan tentang apa yang kamu tinggalkan untuk anak-anakmu, melainkan apa yang kamu tinggalkan dalam diri anak-anakmu."

Kalender

Artikel Terkait