Di tengah hembusan uap panas bumi Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, ada ironi yang kini berubah jadi harapan: limbah silika yang lama dipandang tak berguna mulai “naik kelas” menjadi bahan baku teknologi kesehatan. Melalui rekayasa nanoteknologi, para peneliti mengolahnya menjadi partikel cerdas berukuran nano yang—pada tahap riset awal—menunjukkan kemampuan menyerang sel kanker kulit secara lebih selektif, sambil berupaya meminimalkan dampak pada sel-sel sehat.
Penelitian ini dilaporkan oleh kolaborasi tim ilmuwan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Universitas Muhammadiyah Makassar, dan National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, dalam jurnal ACS Omega pada Desember 2025 (ACS Omega 2025, 10, 49, 60225–60234; link URL: https://doi.org/10.1021/acsomega.5c06202)
Dari Limbah Geothermal Menjadi Obat Masa Depan
Silika (SiO₂), zat yang umum ditemukan di pasir dan batuan, juga terkandung dalam uap panas bumi yang digunakan untuk pembangkit listrik tenaga geothermal. Dalam proses tersebut, silika kerap menumpuk dan menyumbat sistem pipa—sebuah masalah teknis yang selama ini hanya dianggap sebagai limbah operasional.
Namun, silika dari Dieng memiliki keistimewaan: ia berbentuk amorf dan sangat murni, dengan kandungan SiO₂ mencapai lebih dari 98 persen. Ini menjadikannya kandidat ideal untuk diubah menjadi quantum dots (QDs)—partikel ultra-kecil berukuran sekitar tiga nanometer (sepersepuluh ribu lebar rambut manusia).
Melalui teknik sintesis ramah lingkungan yang hanya menggunakan air, asam klorida (HCl), dan natrium hidroksida (NaOH), para peneliti berhasil menghasilkan QDs tanpa bantuan pelarut organik berbahaya maupun proses suhu ekstrem. Metode ini dikenal sebagai acid-base hydrothermal synthesis—salah satu pendekatan paling bersih dalam kimia material.
Menyala, Menyasar, Membunuh
Quantum dots dikenal dalam dunia biomedis karena kemampuannya memancarkan cahaya saat disinari. Partikel hasil dari limbah geothermal ini mampu memancarkan cahaya biru terang jika disinari sinar UV, membuatnya cocok untuk bioimaging—proses pencitraan sel atau jaringan di dalam tubuh secara real-time.
Namun yang membuat temuan ini benar-benar menonjol adalah efeknya terhadap sel kanker. Dalam uji laboratorium, partikel silika QDs ini menunjukkan kemampuan membunuh sel melanoma (jenis kanker kulit yang agresif) dengan konsentrasi rendah, tetapi tetap aman bagi sel normal (fibroblas kulit). Nilai IC50-nya—indikator konsentrasi toksik—sekitar 398,6 ppm pada sel kanker, dibandingkan 4532 ppm pada sel normal.
"Perbedaan respons ini sangat signifikan. Artinya, QDs memiliki selektivitas alami untuk menyerang sel kanker," ujar Novi Irmania, peneliti utama dari BRIN.
Mekanisme yang diduga berperan adalah peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS), yaitu molekul yang memicu stres oksidatif dan kematian sel. Sel kanker, yang memiliki metabolisme tidak stabil, lebih rentan terhadap serangan ROS dibandingkan sel sehat.
Stabil di Tubuh, Siap Dimodifikasi
Tak hanya bersifat mematikan bagi sel kanker, partikel ini juga menunjukkan stabilitas tinggi dalam lingkungan cair. Uji zeta potensial menunjukkan angka −28 mV, yang mengindikasikan bahwa QDs tidak mudah menggumpal dalam cairan tubuh. Ini penting agar partikel tetap aktif saat disuntikkan atau dimasukkan ke dalam tubuh pasien.
Bentuknya yang bulat sempurna, serta ukurannya yang seragam, membuat QDs sangat mudah dimodifikasi. Dalam konteks terapi kanker masa depan, partikel ini bisa dikombinasikan dengan antibodi khusus yang mengenali permukaan sel kanker, lalu membawa obat langsung ke target—layaknya rudal berpemandu nano.
Solusi dari Tanah Sendiri
Temuan ini bukan hanya prestasi ilmiah, tapi juga cermin potensi besar riset berbasis sumber daya lokal. Indonesia, yang selama ini dikenal sebagai eksportir bahan mentah, menunjukkan bahwa ia juga bisa menjadi pelopor dalam sains tingkat tinggi.
Dari limbah geothermal di Dieng, lahir partikel yang bisa menjadi bahan baku teknologi kedokteran presisi. Ini adalah bentuk nyata dari ekonomi sirkular, di mana limbah industri justru menjadi bahan utama inovasi kesehatan.
Langkah Berikutnya
Meski hasil laboratorium menunjukkan hasil menggembirakan, perjalanan menuju penggunaan klinis masih panjang. Para peneliti menyebutkan bahwa studi lanjutan akan mencakup uji pada hewan, modifikasi permukaan partikel untuk meningkatkan efektivitas, serta pengujian keamanan jangka panjang.
Tantangan berikutnya adalah membuktikan bahwa terapi ini aman, efektif, dan dapat diproduksi massal dengan biaya terjangkau. Namun, dengan pendekatan yang menggabungkan keberlanjutan, teknologi tinggi, dan kebutuhan medis, riset ini sudah menandai langkah besar ke arah terapi kanker generasi baru—yang ramah lingkungan dan lebih terarah.
Melawan Kanker dengan Teknologi Nano
Melanoma, meski bukan kanker paling umum, adalah salah satu yang paling mematikan jika tidak ditangani sejak dini. Di sinilah bioimaging dan terapi presisi memainkan peran penting.
Dengan memanfaatkan sinyal cahaya dari QDs, dokter dapat mendeteksi keberadaan sel kanker lebih awal. Dan dengan kemampuan untuk mengangkut obat secara langsung ke sel kanker, efek samping pengobatan dapat dikurangi drastis.
Jika teknologi ini berhasil dikembangkan hingga ke tahap klinis, maka Indonesia tidak hanya menjadi penghasil energi geothermal, tetapi juga pusat produksi bahan theranostik modern yang dapat diekspor ke dunia. (Artikel ini adalah intisari dari publikasi ilmiah berjudul "Sustainable Geothermal Silica Quantum Dots Synthesized via Acid–Base Hydrothermal Method for Selective Melanoma Theranostics and Bioimaging". Untuk membaca artikel penelitian selengkapnya, silakan klik: https://pubs.acs.org/doi/10.1021/acsomega.5c06202)