Bencana alam maupun situasi darurat sering kali membawa dampak besar bagi bayi dan balita. Perubahan lingkungan yang drastis, kehilangan rutinitas, serta paparan stres dapat mempengaruhi kondisi emosional dan fisik anak.
Pada banyak anak, hal ini tampak dalam bentuk stres, regresi perilaku (misalnya kembali rewel atau sulit ditinggal), serta perubahan pola tidur seperti sulit tidur, sering terbangun, atau mimpi buruk. Padahal, tidur merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi tumbuh kembang dan pemulihan fisik serta mental anak.
Mengapa Gangguan Tidur Anak Pascabencana Bisa Terjadi?
Gangguan tidur pada anak pascabencana umumnya terjadi karena kombinasi beberapa faktor berikut:
● Faktor emosional: Anak dapat merasakan ketakutan, kehilangan, atau kebingungan akibat perubahan yang terjadi. Ingatan traumatis, separation anxiety, dan rasa tidak aman membuat anak lebih waspada sehingga sulit untuk rileks dan tertidur.
● Faktor lingkungan: Lingkungan pengungsian atau tempat tinggal sementara sering kali bising, padat, dengan penerangan yang kurang memadai. Suhu yang terlalu panas atau dingin serta keterbatasan kebersihan juga dapat mengganggu kenyamanan tidur anak.
● Faktor fisik: Kelelahan, kurang asupan makan dan minum, kondisi tubuh yang tidak fit, hingga gangguan seperti gigitan serangga dapat membuat anak sulit tidur nyenyak.
● Faktor sosial: Anak sangat peka terhadap emosi orang dewasa di sekitarnya. Melihat orang tua atau pengasuh yang stres, cemas, serta terpapar berita atau pembicaraan traumatis dapat meningkatkan kecemasan anak dan berdampak pada kualitas tidurnya.
Mengapa Tidur Penting dalam Fase Darurat?
Di masa darurat, tidur memiliki peran yang sangat krusial. Tidur membantu pemulihan fisik setelah kelelahan dan stres berkepanjangan, mendukung regulasi emosi anak, serta menjaga daya tahan tubuh agar tetap optimal.
Selain itu, tidur yang cukup membantu anak memiliki kemampuan coping yang lebih baik dalam menghadapi situasi sulit, sehingga ia lebih tenang, responsif, dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Langkah-Langkah Menjaga Kualitas Tidur Anak Pascabencana
1. Membentuk Rasa Aman
Kehadiran orang tua atau pengasuh yang responsif menjadi kunci utama. Dengarkan perasaan anak, validasi emosinya, dan yakinkan bahwa ia berada dalam kondisi aman. Kontak fisik seperti memeluk atau menemani anak juga membantu menenangkan. Saat anak merasa aman, kadar hormon stres akan menurun, sehingga tubuh lebih rileks dan anak lebih mudah untuk tidur.
2. Menciptakan Zona Tidur Sederhana yang Konsisten
Meski berada dalam keterbatasan, usahakan anak tidur di tempat yang sama setiap malam, termasuk saat harus bermalam di posko atau rumah sementara. Gunakan alas tidur yang sama secara konsisten, seperti selimut, jaket, atau tikar, agar anak memiliki rasa familiar
Kemudian jika memungkinkan, buat ‘batas’ ruang tidur menggunakan tas, selimut, atau bantal untuk memberi ilusi ruang pribadi. Parents juga bisa memasang kain atau selimut untuk menutup ‘ruang tidur’ anak ini agar tidak terlalu banyak cahaya yang masuk dan menghalangi lalu-lalang.
3. Tetap Menerapkan Bedtime Routines
Rutinitas sebelum tidur seperti membersihkan badan, berganti pakaian, berdoa, atau membacakan cerita singkat membantu memberi sinyal pada tubuh anak bahwa waktu tidur telah tiba, meskipun kondisinya sedang tidak ideal. Lakukan hal-hal ini secara konsisten setiap harinya.
4. Mengoptimalkan Kondisi Fisik
Atur kondisi fisik anak dengan fokus pada hal-hal yang paling mungkin diperbaiki dalam situasi darurat. Misalnya, memastikan anak tidak kedinginan atau kepanasan dengan menyesuaikan pakaian, tanpa perlu mengenakan lapisan berlebihan untuk mencegah overheat.
Jika mandi tidak memungkinkan, bersihkan tubuh anak menggunakan tisu atau kain basah, terutama pada area wajah, leher, ketiak, dan kaki agar tubuh terasa lebih nyaman.
Selain itu, hindari memberikan makan berat atau minuman manis setidaknya satu jam sebelum waktu tidur untuk membantu tubuh anak lebih siap beristirahat.
5. Menjaga Aktivitas Fisik dan Jadwal tidur
Ajak anak bergerak dan bermain ringan di siang hari agar energinya tersalurkan. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang aktif di siang hari cenderung memiliki tidur malam yang lebih nyenyak karena kebutuhan geraknya terpenuhi dengan baik.
Aktivitas sederhana seperti berjalan kecil di area yang aman sudah cukup membantu. Selain aktivitas fisik, beri ruang bagi anak untuk mengekspresikan emosinya melalui menggambar, bermain peran, atau bercerita.
Selain itu, tetap usahakan jam tidur dan bangun yang konsisten untuk membantu menjaga ritme biologis anak.
6. Mengelola Stress untuk Orang Tua
Meski masih bayi atau balita, anak peka terhadap stres orang tuanya. Perubahan nada suara, ekspresi, dan sikap orang tua dapat membuat anak ikut merasa cemas, rewel, dan sulit tidur.
Oleh karena itu sebaiknya sebelum mendampingi anak, orang tua perlu menenangkan diri terlebih dahulu, misalnya dengan menarik napas dalam dan berbicara dengan lebih lembut. Respons yang tenang dan konsisten membantu anak merasa aman dan lebih mudah menenangkan diri.
Untuk anak yang sudah lebih besar, sebaiknya batasi paparan anak terhadap berita atau percakapan yang bernuansa traumatis. Usahakan diskusi mengenai kondisi darurat dilakukan jauh dari anak agar ia tidak menyerap kecemasan tambahan.
Kesimpulan
Kesimpulannya, tidur merupakan bagian penting dari proses pemulihan anak pascabencana. Fokus utama adalah membangun rasa aman, mempertahankan rutinitas sederhana, dan menciptakan lingkungan yang stabil bagi anak.
Keterbatasan kondisi bukanlah penghalang utama. Dengan konsistensi dan kehadiran penuh dari orang dewasa, kualitas tidur anak tetap dapat dijaga demi kesehatan dan kesejahteraannya.