Tantangan di Balik Rendahnya Cakupan Imunisasi: Tinjauan dari Aspek Sosial, Budaya, Keyakinan, dan Arus Informasi


Tantangan di Balik Rendahnya Cakupan Imunisasi: Tinjauan dari Aspek Sosial, Budaya, Keyakinan, dan Arus Informasi

Pendahuluan

Imunisasi merupakan intervensi kesehatan masyarakat yang terbukti paling efektif dalam menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat penyakit menular. Namun, capaian imunisasi dasar lengkap di Indonesia masih mengalami fluktuasi dan belum mencapai target nasional, terutama di wilayah dengan karakteristik sosial dan budaya yang kuat. Menurut Kementerian Kesehatan (2023), salah satu penyebab utama rendahnya cakupan imunisasi bukan terletak pada ketersediaan vaksin atau tenaga kesehatan, tetapi pada rendahnya penerimaan masyarakat terhadap imunisasi itu sendiri.
Fenomena penolakan atau keraguan terhadap imunisasi (vaccine hesitancy) menjadi tantangan serius bagi program imunisasi nasional. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor sosial, budaya, keyakinan keagamaan, serta meningkatnya arus informasi yang tidak valid di media sosial. Artikel ini berupaya membahas secara mendalam pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap rendahnya cakupan imunisasi di Indonesia.

 

Faktor Sosial: Pengaruh Lingkungan dan Kepercayaan Komunitas

Dalam masyarakat, keputusan seorang ibu untuk membawa anaknya imunisasi sering kali tidak diambil secara individu, tetapi dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya.
Ada pandangan bahwa imunisasi bukan prioritas dibanding kebutuhan ekonomi harian. Di keluarga dengan tingkat pendidikan rendah, imunisasi dianggap tidak terlalu penting selama anak terlihat sehat.
Selain itu, opini tokoh masyarakat dan kelompok sosial tertentu memiliki peran besar. Jika tokoh yang dihormati tidak mendukung imunisasi, maka masyarakat cenderung mengikuti pandangan tersebut tanpa mempertimbangkan bukti ilmiah.

 

Faktor Budaya dan Keyakinan: Antara Tradisi dan Persepsi Religius

Budaya dan keyakinan juga turut menentukan keberhasilan program imunisasi. Di beberapa wilayah, masih ada anggapan bahwa penyakit merupakan "takdir Tuhan" yang tidak perlu dicegah dengan vaksinasi.
Sebagian masyarakat juga berpegang pada pengobatan tradisional atau jampi-jampi sebagai cara pencegahan penyakit.

Selain itu, isu kehalalan vaksin sering menjadi alasan penolakan imunisasi. Meskipun Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa imunisasi diperbolehkan bahkan dianjurkan demi menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa, tidak semua masyarakat mendapatkan informasi ini secara utuh.

 

Arus Hoaks dan Misinformasi: Tantangan Era Digital

Kemajuan teknologi informasi memberi dua sisi mata uang bagi dunia kesehatan. Di satu sisi, informasi dapat menyebar dengan cepat dan membantu edukasi masyarakat. Namun di sisi lain, hoaks dan misinformasi tentang imunisasi juga menyebar luas melalui media sosial.
Isu seperti “vaksin menyebabkan autisme”, “vaksin berisi chip”, atau “vaksin hanya bisnis farmasi” telah menciptakan ketakutan dan kebingungan di masyarakat.
Sayangnya, masyarakat lebih mudah percaya pada informasi emosional yang sering dikemas dengan narasi menakutkan, dibandingkan dengan data ilmiah yang disampaikan secara formal oleh tenaga kesehatan.

 

Peran Tenaga Kesehatan dan Lintas Sektor

Menjawab tantangan tersebut, tenaga kesehatan tidak cukup hanya memberikan layanan imunisasi, tetapi juga harus menjadi educator dan influencer di tengah masyarakat.
Pendekatan sosial-budaya perlu diperkuat, misalnya dengan melibatkan tokoh agama, kader, dan tokoh adat dalam kampanye imunisasi.
Selain itu, kolaborasi dengan sektor pendidikan, media, dan organisasi keagamaan sangat penting untuk memastikan pesan imunisasi tersampaikan secara benar dan berulang kepada masyarakat.

 

Kesimpulan

Rendahnya cakupan imunisasi bukan hanya masalah pelayanan kesehatan, tetapi juga masalah sosial dan komunikasi publik. Kunci keberhasilannya terletak pada kemampuan pemerintah dan tenaga kesehatan membangun kepercayaan, menyesuaikan pendekatan dengan nilai-nilai budaya setempat, serta melawan hoaks dengan strategi komunikasi yang empatik dan berkelanjutan. Imunisasi bukan hanya perlindungan individu, tetapi juga bentuk tanggung jawab sosial untuk melindungi generasi masa depan dari ancaman penyakit berbahaya.

Kalender

Artikel Terkait