Kalau masalah perilakunya masalah sosial, rasanya sulit mengandalkan pendekatan atau metode privat alias perorangan. Apalagi bagi masyarakat Indonesia, yang katanya berbudaya komunal. Yang setidaknya mikirin: bagaimana orang nanti memandang?

Contohnya di perilaku terkait kesehatan mental. Banyak keluarga tidak kunjung menjemput anggota keluarganya di Rumah Sakit Jiwa. Bukan tidak cinta atau tidak sanggup merawat di rumah. Tapi tak kuat menanggung malu dari tetangga.

Masalah sosial penyakit TBC tak kalah kental. Makanya, di kampung lebih sering disebut penyakit flek atau paru-paru basah. Kalau TBC disebut, stigma muncul. Warga menghindar ramai-ramai, mengucilkan dll.

Bukan hanya pada penyakit yang terkesan berat, diare pun ada aspek sosialnya. Katanya, diare itu tanda anak mau pinter, mau bisa berdiri, jalan, tumbuh gigi dan lain-lain. Ngenteng-ngentengi, orang di kampung bilang. Kemungkinan besar, pemahaman seperti ini, yang diturunkan antar generasi, ikut menyumbang ketelatan orang tua mencari pengobatan.

Bila faktor sosial bermain maka perilaku yang terbentuk bukan atas inisiatif pribadi, pemahaman, sikap, persepsi individual tapi ada pengaruh di luar individu alias faktor di masyarakat. Makanya, intervensinya pun mesti bersifat komunal. 

Yang diotak-atik jangan hanya pengetahuan sikap individual tapi mesti pengetahuan sikap bersama.

Bagaimana caranya?

Ada banyak contoh intervensi perubahan perilaku di tingkat komunitas. Mungkin pernah mendengar PRA, PAR, SARA, PD, CLTS, Ansos, PHAST, MPHAST? 

Jangan lupa, KAP termasuk salah satunya, khususnya dengan model edukasi kelompok. 

Untuk urusan intervensi perubahan perilaku sosial, KAP memiliki beberapa perbedaan dengan model lain, misalnya keutamaan pada hubungan akrab (connect before content), tertawa dulu baru belajar, penundaan pembicaran solusi agar muncul atau ditanyakan sendiri oleh warga (solusi = imunisasi, tes iva, tes mantoux, nyamuk wolbachia, RUTF, TPT, MMS, periksa kesehatan dll), komitmen bukan dari ungkapan iya.

Condet, 12 Desember 2024 - RR