Deteksi Dini HIV pada Ibu Hamil: Pentingnya Tes, Prosedur, dan Manfaat

 

Deteksi Dini HIV pada Ibu Hamil: Pentingnya Tes, Prosedur, dan Manfaat


Deteksi Dini HIV pada Ibu Hamil: Pentingnya Tes, Prosedur, dan Manfaat

Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan peningkatan kasus HIV di Indonesia pada tahun 2023. 35% diantaranya adalah ibu rumah tangga, dan 0,3% adalah ibu hamil. Tentunya hal ini merupakan masalah kesehatan yang serius, karena ibu hamil yang mengidap HIV, berisiko tinggi menularkan HIV pada anaknya. Untuk itu, dibutuhkan upaya pencegahan dan deteksi dini pada ibu hamil untuk mengurangi risiko penularan pada anak dan anggota keluarga lainnya.

HIV atau human immunodeficiency virus merupakan virus yang menyerang sel-sel darah putih (CD4) dalam sistem kekebalan tubuh. Virus ini melemahkan dan mengurangi kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam memerangi infeksi dan penyakit. Jika tidak ditangani dengan tepat, HIV dapat berubah menjadi gangguan kesehatan yang serius, dimana daya tahan tubuh menjadi sangat lemah sehingga tak mampu lagi melawan infeksi dan serangan penyakit dalam tubuh. Kondisi ini dikenal sebagai AIDS, atau Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), yang merupakan stadium akhir dari infeksi HIV.

Gejala HIV biasanya tidak dirasakan pada awal seseorang terinfeksi dan baru muncul setelah beberapa bulan kemudian. Namun, ada pula yang merasakan gejala-gejala ringan seperti flu pada minggu-minggu pertama, seperti demam, sakit kepala, ruam pada kulit dan sakit tenggorokan.

BACA: Mengenal HIV dan AIDS serta Tanda-tanda Gejalanya

Penularan HIV

HIV tidak ditularkan melalui udara, keringat, sentuhan, atau berbagi makanan, melainkan cairan tubuh, seperti darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). Cairan tubuh yang telah terinfeksi virus HIV masuk ke dalam tubuh melalui:

  1. Hubungan seksual
    Hubungan seksual tanpa pengaman, baik melalui vagina, anus maupun oral berpotensi menularkan HIV, terutama bagi yang sering berganti-ganti pasangan.

  2. Jarum suntik
    Menggunakan jarum suntik yang tidak steril atau bekas dipakai orang lain sangat berisiko menularkan penyakit, termasuk HIV. 

  3. Kehamilan dan Menyusui
    Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus HIV pada bayinya, melalui cairan ketuban dan air susu ibu (ASI) yang telah terkontaminasi virus HIV. Konsultasikan kepada dokter jika Anda mengidap HIV saat hamil untuk menekan risiko penularan pada bayi.

 

Pentingnya Deteksi Dini HIV pada Ibu Hamil

HIV pada wanita hamil dapat meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, seperti preeklamsia yang ditandai dengan tekanan darah tinggi dan adanya protein dalam urin, keguguran dan melahirkan prematur. Wanita hamil yang terinfeksi HIV bisa diketahui dengan melihat ciri-ciri berikut ini.

  1. Kondisi fisik lemah
    Karena HIV menyebabkan penurunan daya tahan tubuh, ibu hamil yang terinfeksi HIV menjadi lebih lemah dan rentan terinfeksi berbagai macam penyakit. Salah satunya mengalami flu dan demam yang berulang-ulang.

  2. Ruam pada kulit
    Ciri-ciri lainnya adalah munculnya ruam pada kulit sebagai reaksi terhadap infeksi HIV. Berupa bintik-bintik merah yang semakin lama semakin membesar dan banyak jumlahnya.

  3. Bisul di sekitar alat kelamin
    Ciri lainnya adalah munculnya bisul di sekitar alat kelamin yang bisa hilang, tapi kemudian muncul kembali.

  4. Pembengkakan pada kelenjar getah bening
    Kelenjar getah bening adalah bagian tubuh yang berkaitan erat dengan sistem kekebalan, sehingga timbulnya pembengkakan pada kelenjar getah bening bisa menjadi tanda adanya infeksi HIV pada ibu hamil.

  5. Ciri lain yang mungkin timbul
    • nyeri otot dan sendi
    • diare dan sakit tenggorokan
    • gejala amenore dan herpes
    • penurunan berat badan secara drastis
    • bintik putih pada lidah
    • penglihatan berkurang

Selain berdampak buruk pada ibu, HIV juga mempengaruhi janin yang dikandungnya. Bayi memiliki risiko lebih tinggi tertular, membuatnya rentan terhadap infeksi virus dan bakteri penyakit, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang, bahkan kematian. Bayi yang terinfeksi HIV juga berisiko tinggi lahir dengan berat badan lahir rendah, serta mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan fisik dan perkembangan mentalnya.

Oleh karenanya, penting untuk melakukan deteksi dini HIV pada ibu hamil. Karena ibu hamil yang menderita HIV memerlukan perawatan khusus untuk menangani infeksinya, serta mengurangi risiko penularan pada bayi.

 

Tes HIV pada Ibu Hamil

Secara umum,  tes HIV memiliki prinsip 5 C, yaitu: 

  1. Consent atau mendapatkan persetujuan pasien.

  2. Confidentiality atau menjaga kerahasiaan.

  3. Counseling atau konseling.

  4. Correct test result, yaitu hasil tes harus benar dan akurat.

  5. Connect to care, yaitu dihubungkan dengan layanan perawatan, pengobatan dan dukungan. 

Sebagai langkah pertama, pemeriksaan HIV pada ibu hamil harus dilakukan sejak awal kehamilan untuk menentukan status HIV ibu hamil, biasanya pada trimester pertama kehamilan, dan bukan merupakan bagian dari medical check up pada umumnya. Jika status HIV ibu hamil negatif tapi memiliki risiko penularan yang tinggi, maka dapat dilakukan pemeriksaan ulang pada trimester ketiga. 

Yang dimaksud dengan risiko penularan yang tinggi adalah memiliki pasangan yang menderita HIV, atau memiliki riwayat risiko tinggi, seperti melakukan hubungan seksual tidak aman atau pengguna narkoba suntik. Tes HIV tambahan dapat dilakukan untuk memastikan ibu benar-benar terbebas dari infeksi HIV pada awal kehamilan.

Namun, jika status HIV ibu hamil positif, langkah-langkah perawatan yang tepat dan pengobatan harus segera dimulai untuk meminimalisir risiko penularan pada bayi.  Berbagai jenis skrining HIV yang umum dilakukan, antara lain:

  1. Tes Antibodi
    Tes ini untuk mendeteksi kadar antibodi dalam tubuh sebagai respon terhadap infeksi HIV. Tes ini harus dilakukan dalam waktu 3-12 minggu agar jumlah antibodi dalam darah cukup tinggi untuk terdeteksi saat pemeriksaan.

  2. Tes Antigen
    Tujuannya untuk mendeteksi kadar protein p24 yang merupakan bagian dari virus HIV. P24 biasanya diproduksi dalam tubuh 2-6 minggu setelah terinfeksi virus HIV.

Jika hasil tes HIV menunjukkan ibu hamil positif HIV, maka pengobatan dengan terapi obat antiretroviral (ARV) harus segera dimulai. Tujuannya adalah menurunkan kadar virus HIV dalam tubuh ibu untuk meningkatkan daya tahan tubuh dalam melawan infeksi HIV, serta meminimalkan risiko penularan pada bayi. Namun, pilihan pengobatan ARV harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi ibu hamil.

BACA: Pentingnya Pemeriksaan Viral Load (VL) HIV

 

Dukungan dan Konseling bagi Ibu Hamil dengan HIV

HIV tak hanya berdampak buruk pada kondisi fisik penderitanya, tapi juga kondisi mentalnya. Menerima kenyataan dirinya terinfeksi HIV bukanlah hal yang mudah bagi ibu hamil. Apalagi jika ia juga menghadapi stigma dari orang-orang di sekitarnya, yang dapat mengakibatkan ketakutan, kecemasan, serta perasaan terisolasi. Dukungan dari keluarga, teman, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menghubungkan penderita dengan layanan perawatan, pengobatan, dan konseling.

Konseling HIV penting untuk dilakukan sebagai sebuah proses yang memiliki 3 tujuan, yaitu: 

  1. Memberi dukungan secara psikologis, seperti dukungan emosional, sosial dan spiritual untuk membangun perasaan aman dan sejahtera pada ibu hamil dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

  2. Mencegah penularan HIV melalui edukasi tentang bahaya perilaku berisiko, seperti hubungan seksual tidak aman, berbagi alat suntik, dan lain sebagainya. Proses ini juga membantu ibu hamil membangun keterampilan dan kemampuannya menerima serta mendorong perubahan perilaku.

  3. Memastikan efektivitas terapi melalui penyelesaian masalah dan kepatuhan.

Dengan perawatan, pengobatan, dukungan dan konseling yang baik, dampak infeksi HIV pada ibu hamil dapat dikelola dengan baik. Selain itu juga memfasilitasi perubahan perilaku yang meminimalisir risiko penularan pada bayi dan orang-orang di sekitarnya.

 

Kalender

Artikel Terkait