Gerakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam Data Riset Kesehatan Dasar


Gerakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam Data Riset Kesehatan Dasar

Kementerian Kesehatan sejak tahun 1995 senantiasa berupaya terus menerus mewujudkan masyarakat Indonesia memiliki perilaku hidup bersih dan Sehat (PHBS) untuk mendukungpeningkatan derajat kesehatan masyarakat yang berkualitas. Namun, pencapaian program PHBS belum mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan apa yang diharapkan.

Mengapa dan ada apa dengan program PHBS yang sudah dicanangkan belum juga berhasil dengan baik, dimana beragam penyebab dan kendala pada keberhasilan program PHBS tersaji dengan baik. Pentingnya PHBS ini dimasukkan dalam visi misi Indonesia sehat 2010 pada tahun 1988, PHBS juga tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014, PHBS menjadi kegiatan dari Desa/Kelurahan Siaga Aktif, PHBS menjadi indikator dalam sebuah Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, PHBS juga sangat berkaitan dan mendukung dengan kebijakan SDGs, PHBS juga sangat berhungan erat dengan tujuan dan pencapaian dari Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) hingga PHBS menjadi inti utama dalam Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga.

Evaluasi dan dampak Program PHBS dapat kita ikuti secara baik dan signifikan dengan melihat sajian data Riskesdas tahun 2008, 2013, dan 2018. Hasil riskesdas yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan membuktikan bahwa secara umum program PHBS belum mencapai hasil yang baik. Evaluasi keberhasilan PHBS dilakukan dengan melihat indikator PHBS di tatanan rumah tangga.

Untuk mengetahui perjalanan program PHBS selama ini, telah disusun sebuah Buku Bunga Rampai “Transformasi 10 tahun Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat indonesia”. Buku Bunga Rampai ini   merupakan kumpulan karya tulis ilmiah dan dianalisa dari para peneliti senior Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan terhadap Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sepanjang satu dekade. Buku yang terdiri dari 9 Bab ini disusun berdasarkan analisis kualitatif dan kuantitatif dari peneliti dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman penelitiannya selama di Badan Litbangkes Kemenkes RI.

Berawal dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, ada sembilan indikator PHBS yang ditetapkan sebagai indikator perilaku masyarakat. Sembilan indikator tersebut adalah   Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; Bayi usia 0-6 bulan diberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif; Penimbangan bayi balita; Tidak ada orang yang merokok di dalam rumah; Setiap hari melakukan aktivitas fisik cukup; Setiap hari mengonsumsi buah dan sayur cukup; Rumah tangga menggunakan air bersih; Individu menggunakan jamban sehat; Cuci tangan pakai sabun dengan benar.

Hasil Riskesdas pertama memberikan informasi ada 5 (lima) provinsi memiliki nilai kategori PHBS di atas nilai rata-rata nasional (11,2 %). Lima provinsi tersebut adalah DKI Jakarta (23,2 %), Bali (17,2 %), Riau (16,9 %), DIY (16,0 %) dan Kalimantan Timur (14,7 %).

Hasil analisis masing-masing indikator dalam PHBS di tahun 2007 juga memberikan informasi bahwa sudah ada indikasi meningkatnya faktor risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) yang terjadi. Namun, untuk memastikan seberapa besar hubungan antara indikator yang ada dalam PHBS, misalnya hubungan antara merokok dan rendahnya konsumsi buah dan sayur dengan kejadian PTM, maka   diperlukan dilakukan analisis lebih lanjut.

Masuknya PHBS dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan (Renstra Kemenkes) tahun 2010-2014 dan menargetkan 70% rumah tangga melaksanakan PHBS di rumah tangga merupakan hal yang sangat penting untuk melihat tidak hanya kuantitas tetapi juga kualitas PHBS di dalam masyarakat Indonesia.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Kementerian Kesehatan juga menyiapkan pedoman umum sebagai payung hukum pembinaan PHBS melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2269/Menkes/Per/XI/2011 tentang Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.

Upaya lain dalam menggerakkan, memfasilitasi dan membantu masyarakat untuk pelaksanaan PHBS di desa dan kelurahan, pemerintah menyusun Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1529/Menkes/SK/X/2010 (Kementerian Kesehatan, 2010). Di dalam pedoman tersebut, diharapkan setiap desa dan kelurahan siaga aktif telah mempraktikkan PHBS dalam kegiatan sehari-hari.

Masuknya PHBS dalam Rensta Kemenkes berbuah manis. Hal ini memperlihatkan adanya peningkatan proporsi rumah tangga yang melakukan PHBS dalam lima tahun terakhir sebelum tahun 2013, yaitu dari 11,2% menjadi 23,6%. Indikator komposit PHBS yang mengalami peningkatan proporsi rumah tangga terbesar dalam lima tahun terakhir yaitu indikator tidak merokok di dalam rumah, yaitu sebesar 45,5% (dari 0,8% menjadi 46,3%).

Informasi yang sangat baik juga ditunjukkan tigaindikator yang mencapai nilai di atas 80%, yaitu perilaku mencegah jentik (89,1%), praktik persalinan dengan tenaga kesehatan (87,4%), dan memiliki sumber air bersih (84,2%).Lebih dari separuh rumah tangga membuang air besar menggunakan jamban (79,7%) dan melakukan penimbangan balita selama enam bulan terakhir (67,4%).Lima indikator lainnya yang masih rendah dan perlu strategi promosi kesehatan, yaitutidak merokok di dalam rumah (46,3%), pemberian ASI eksklusif (31,6%), mencuci tangan menggunakan sabun dan air bersih (27,2%), melakukan aktivitas fisik setiap hari (25,8%), dan mengonsumsi sayur buah setiap hari (0,8%).    

Perubahan indikator yang dilakukan pada tahun 2018 membawa dampak pencapaian indeks PHBS-nya. Hasil analisis nasional menunjukkan bahwa 39,1% rumah tangga di Indonesia melakukan praktik perilaku hidup bersih dan sehat. Jika dilihat dari masing-masing indikator komposit PHBS, terdapat lima indikator dengan proporsi rumah tangga di atas 80% yaitu indikator melakukan praktik persalinan dengan tenaga kesehatan (92,5%); memiliki sumber air bersih (86,8%); melakukan BAB di jamban (84,6%); mencegah jentik (81,9%); dan (5) menimbang balita (79,8%).

Lebih dari separuh rumah tangga mempunyai anggota rumah tangga yang tidak merokok dalam rumah (51,1%) dan mencuci tangan menggunakan sabun dan air bersih (56,8%). Proporsi terendah rumah tangga yang melakukan PHBS berada pada indikator pemberian ASI eksklusif (42,4%), melakukan aktivitas fisik setiap hari (27,6%), dan mengonsumsi sayur buah setiap hari (1,4%).

Dua belas provinsi yang memperoleh cakupan tertinggi dengan proporsi di atas angka nasional adalah sebagai berikut, yaitu Bali (63,7%), Yogyakarta (56,9%), DKI Jakarta (52,6%), namun bila dilihat lagi ada dua belas provinsi yang memperoleh cakupan tertinggi di atas angka nasional NTB (46,4 %) , Kepulauan Riau (45,9 %) , Sulawesi Selatan (43,0 Sedangkan 22 provinsi lainnya memiliki proporsi rumah tangga ber-PHBS di bawah angka nasional, dengan proporsi terendah di Papua (20%), diikuti Kalimantan Barat (20,6%), dan Sumatera Selatan (25,1%). Dari 12 Provinsi yang mencapai proporsi di atas angka nasional hanya tiga provinsi yang memiliki lebih dari separuh rumah tangganya melakukan PHBS, yaitu Bali , Yogyakarta DKI Jakarta.

Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, 2013, dan 2018 memperlihatkan proporsi rumah tangga yang melakukan PHBS selama sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan sekitar 28%. Gambaran secara rinci proporsi PHBS lima tahunanyaitu 11,2% (2007) menjadi 23,6% (2013) dan kemudian 39,1% (2018).

Kenaikan yang siginifikan ini menjadikan keluarnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Kewenangan Wajib Standar Pelayanan Minimal (KW SPM) bidang kesehatan, yaitu pencapaian rumah tangga sehat pada tahun 2010 yang seharusnyasebesar 65%. Terbitnya SPM ini akan memberikan kontribusi pada peningkatan PBHS di tatanan rumah tangga.

Peningkatan tersebut berdampak pada kesadaran masyarakat untuk menjalankan hidup bersih dan sehat, sehingga dapat menciptakan lingkungan yang sehat. Masyarakat bisa mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan secara mandiri, serta mengetahui cara memanfaatkan pelayanan fasilitas kesehatan pada saat memerlukan.

Tren proporsi indikator tidak merokok di dalam rumah mengalami kenaikan yang sangat tinggi dari tahun 2007 ke tahun 2018. Indikator ini menegaskan untuk tidak boleh merokok di dalam rumah, karena dapat merugikan kesehatan perokok dan orang di sekitarnya. Kenaikan proporsi tersebut berdampak negative, sehingga harus menjadi perhatian. Oleh karena itu, jika masih ada anggota keluarga yang merokok, sebaiknya dilakukan di tempat yang disediakan khusus untuk merokok di luar rumah. Perokok pasif ikut mendapat risiko kesehatan akibat asap rokok, bahkan bisa lebih berisiko dibandingkan perokok.

Secara nasional bahwa proporsi individu yang ber-PHBS baik belum mencapai setengah (41,3%). Berdasarkan provinsi, proporsi individu yang ber-PHBS dengan kategori baik paling tinggi di Bali (59,2%), disusul oleh DKI Jakarta (55,2%), DI Yogyakarta (51,9%), Sulawesi Utara (48,1%) dan Kepulauan Riau (47,5%).

Lima provinsi dengan proporsi terendah adalah Papua (21,7%), Nusa Tenggara Timur (24,4%), Sumatera Barat (26,1%), Kalimantan Barat (26,3%), dan Aceh (26,9%). Capaian indikator perilaku buang air besar merupakan yang tertinggi, yaitu 88,2% individu.

Selain itu, sekitar 80% individu sudah dapat mengakses sumber air bersih, tinggal di rumah yang mencegah jentik, kelahiran anak ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Individu yang tidak merokok serta beraktivitas fisik setiap hari mencapai 70%. Individu yang mempraktikkan cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sekitar 60%.

Tidak mencapai setengah proporsi balita yang dilakukan pemantauan secara ideal dan baduta yang mendapat ASI eksklusif. Proporsi yang paling rendah yaitu hanya 2% perilaku individu yang rutin mengonsumsi buah-sayur 5 porsi setiap hari.

 

Kontributor:

Bambang Purwanto, SKM, MKM (Ahli Madya PKM / Koordinator Substansi Potensi Sumber Daya Promkes)

 

Editor:

Eunice Margarini, SKM, MIPH

Marsha Anindita, S.Ds

Kalender

Artikel Terkait