Setiap orang pasti pernah mengalami masalah kondisi kejiwaan seperti depresi, stres, cemas, atau bahkan takut. Sebagian besar, perasaan tersebut dapat berlalu seiring berjalannya waktu. Tapi terkadang perasaan tersebut berkembang menjadi masalah yang lebih serius dan berujung mengganggu kesehatan jiwa. Mengapa demikian?
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebutkan, gangguan mental emosional dialami oleh sekitar 6 persen populasi usia d iatas 15 tahun. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan sebanyak 1 sampai 2 orang dari 1.000 orang populasi di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Bahkan, prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil.
Pakar Kesehatan Jiwa yang juga menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Dr Danardi Sosrosumihardjo SpKJ(K) menyatakan, manusia dikategorikan sehat jiwanya apabila yang bersangkutan merasa sehat, bahagia, bisa menerima diri sendiri seperti apa adanya, bisa menerima orang lain dan situasi kondisi di sekitarnya apa adanya dan juga bersikap optimis, serta senantiasa berupaya untuk hari esok yang lebih baik.
"Namun apabila manusia sudah mulai sering mengeluh, merasa tertekan, sering protes dan mengalami penurunan fungsi kognitif atau emosi, bisa dikatakan individu tersebut sakit secara kejiwaannya," ungkap Dr Danardi di sela acara Pfizer Press Circle (PPC) dengan topik Kesehatan Jiwa: Bagaimana Menghadapi Stres?, di Jakarta, baru-baru ini.
Hal tersebut terjadi saat manusia menjalani kehidupan yang terus bertumbuh, berubah-ubah atau berpindah, berinteraksi dan berkompetisi dengan pihak lain, sukses-gagal, senang-sedih, puas-kecewa, marah-tenang, dan sebagainya. selain itu, menjalankan pola hidup sehat juga penting untuk dilakukan
Dalam menghadapi keadaan yang dinamis, kehidupan itulah muncul mekanisme defens atau menyikapi suatu kejadian dari tiap manusia. Ada manusia yang memilih menggunakan mekanisme defens positif. Namun ada juga yang menyikapi masalah dengan cara yang negatif. Hal tersebut sangat berbeda antara satu dengan individu lainnya. Sebab, tiap manusia punya karakter dan memiliki berbagai mekanisme defens dan akan membentuk pola yang bersangkutan dalam menghadapi stres yang dialami. sehingga sudah seharusnya kita menjalankan hidup sehat
Menurut Dr Danardi, jika karakter yang dimiliki positif dan mekanisme defens yang digunakan tepat, individu tersebut bisa menghadapi stres dengan baik. Sebab, kesadaran akan stres dan pembentukan karakter menghadapi stres atau mekanisme defens dengan benar, memegang peranan penting dalam menjaga kesehatan jiwa.
"Untuk itu, setiap individu perlu mengenali cara dalam menyikapi suatu masalah dan mekanisme defens yang sering dipergunakan. Semua itu bisa dipelajari dan diarahkan kepada karakter positif agar terhindar dari gangguan kesehatan jiwa," jelas dia.
Mekanisme Defens
Dr Danardi menyebutkan, mekanisme defens sebenarnya terbentuk sejak balita, seperti denial atau penyangkalan, distorsi (membayangkan secara tidak riil), dis-asosiasi (dilupakan atau diganti dengan yang lain), proyeksi (menyalahkan orang/pihak lain), displacement (mengalihkan ke objek lain). Ketika sudah menginjak usia yang lebih dewasa, manusia mulai mengunakan mekanisme defens seperti intelektualisasi (berusaha me-rasionalisasi), somatisasi (mengalihkan masalah ke fisiknya), dan represi ('menekan' -- memasukkannya ke alam nirsadar).
Namun, lanjut Dr Danardi, mekanisme defens dikatakan tidak sehat apabila menggunakan intorjeksi (menyalahkan diri sendiri), undoing (mogok, ngambek, reaksi formasi (bertindak sebaliknya), isolasi (memisahkan tindakan dengan emosinya), regresi (kembali berperilaku seperti masa lalu atau ketika kecil). Bahkan, tak jarang mekanisme defens ini bisa menyebabkan gangguan kesehatan secara fisik. Hal tersebut karena kebanyakan individu tersebut mengalihkannya kepada sakit fisik.
"Contohnya saja apabila seseorang mengungkapkan pusing menghadapi pekerjaan yang menumpuk. Hal tersebut akan benar-benar terjadi dan membuat dia pusing saat menghadapi pekerjaan tersebut," ujar dia.
Sedangkan mekanisme defens yang sehat adalah alturism (bertindak dengan kasih sayang, beribadah), antisipasi (merancang, menyusun alternatif), humor (menyikapi masalah sebagai anekdot), sublimasi (mengganti dengan objek lain), dan supresi (menahan diri, menyembunyikan). Misalnya saja, apabila seseorang dituduh sebagai pelaku dari hilangnya sebuah laptop, padahal bukan pelakunya.
Dia memilih untuk mengumpulkan bukti-bukti melalui CCTV atau sebagainya untuk membuktikan kebenarnnya. Hal itu bisa dikatakan mekanisme defens yang digunakan adalah antisipasi. "Itu semua bisa dipelajari dan bisa diarahkan ke arah karakter positif," pungkas dia.
Public Affairs & Communication Director PT Pfizer Indonesia Widyaretna Buenastuti mengatakan, menjaga kesehatan jiwa tak kalah pentingnya dengan kesehatan fisik.
Menurut dia, Pfizer ikut mendukung pendekatan preventif dan promotif dalam meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat dengan menggelar Pfizer Press Circle (PPC), menghadirkan pakar kesehatan jiwa dan berdiskusi cara menghadapi stres.
"Pfizer mempunyai visi untuk memimpin melalui inovasi untuk Indonesia yang lebih sehat. Atas visi tersebutlah, Pfizer berkomitmen menjalankan segala kegiatan dan operasionalnya demi masyarakat Indonesia yang lebih sehat," ujar dia