Sains untuk Semua


Sains untuk Semua

Bagaimana Seni Mengkomunikasikan Ilmu Kedokteran dan Kesehatan kepada Masyarakat Awam?

Sains—khususnya ilmu kedokteran dan kesehatan—ibarat cahaya yang bisa menerangi jalan masyarakat, di dunia yang kini kian dipenuhi informasi. Namun, cahaya itu tak selalu sampai ke semua orang. Kadang redup, kadang terhalang bahasa teknis, kadang pula tertutup oleh kabut hoaks. Pertanyaannya: bagaimana kita bisa memastikan ilmu kesehatan yang rumit dapat dipahami oleh masyarakat awam tanpa kehilangan makna?

 

Sejarah Singkat Komunikasi Sains

Sejak zaman Hippocrates, ilmu kedokteran tak hanya dipraktikkan di ruang perawatan, tetapi juga ditulis, diceritakan, dan diwariskan. Pada abad ke-19, Florence Nightingale menulis laporan medis dengan diagram dan data sanitasi yang membuat pemerintah Inggris mereformasi sistem kesehatan. Ia membuktikan: pena bisa sama tajamnya dengan pisau bedah.
Di Indonesia, jurnalisme kesehatan muncul seiring tumbuhnya media massa modern. Pada masa kolonial, tulisan tentang wabah kolera dan malaria menjadi pengingat pentingnya kesehatan masyarakat. Kini, di era digital, komunikasi sains menjelma menjadi video singkat, podcast, infografis, bahkan cuitan Twitter. Evolusi ini menunjukkan satu hal: cara menyampaikan sains selalu berubah mengikuti zamannya, tapi tujuannya tetap sama—mencerdaskan dan menyelamatkan.

 

Filosofi Menulis Sains

Ada pepatah Latin: Docendo discimus—dengan mengajar, kita belajar. Hal yang sama berlaku dalam menulis sains. Menulis bukan hanya menyampaikan data, tapi juga seni meramu pengetahuan menjadi kisah yang bisa menyentuh pikiran dan hati.
Filsuf Plato pernah mengingatkan bahwa kata-kata dapat “membentuk jiwa.” Dalam konteks kesehatan, tulisan mampu mengubah perilaku: orang berhenti merokok karena membaca artikel, orang ikut vaksin karena memahami manfaatnya, orang mengurangi stigma pada penderita Alzheimer karena diberi narasi yang manusiawi. Dengan kata lain, menulis sains adalah strategi peradaban.

 

Strategi Mengkomunikasikan Sains


1. Gunakan Bahasa Manusia, Bukan Bahasa Laboratorium

Kata-kata teknis seperti “sitokin proinflamasi” atau “farmakogenomik” penting di jurnal ilmiah, tetapi bagi masyarakat awam bisa jadi terdengar seperti mantra asing. Tugas komunikator sains adalah menerjemahkannya. “Sitokin proinflamasi” bisa dijelaskan sebagai “zat pemicu peradangan yang membuat tubuh demam atau nyeri.” Kesederhanaan bukan berarti penyederhanaan berlebihan, melainkan jembatan agar makna sampai.

2. Bercerita dengan Narasi

Data memang penting, tetapi manusia lebih mudah mengingat cerita daripada angka. Daripada menulis “1 dari 3 orang Indonesia berisiko diabetes,” lebih kuat jika ditulis: “Bayangkan dalam sebuah keluarga dengan tiga saudara, kemungkinan besar salah satunya akan hidup dengan diabetes.” Narasi membuat data hidup.

3. Gunakan Visual dan Metafora

Ilmu kesehatan sering kali abstrak. Metafora dapat menjadikannya konkret. Otak bisa diibaratkan sebagai “pusat kendali superkomputer tubuh,” imun tubuh sebagai “tentara penjaga,” dan nanoteknologi sebagai “kurir mini” yang mengantar obat tepat ke alamat sel. Infografis, ilustrasi, atau animasi membantu mempercepat pemahaman.

4. Libatkan Emosi dan Empati

Kesehatan bukan hanya soal tubuh, tapi juga soal manusia. Artikel tentang vaksinasi tidak cukup hanya menyebut “efikasi 95%.” Pembaca perlu tahu kisah seorang ibu yang bisa kembali bekerja karena anaknya terlindungi vaksin. Empati membangun kedekatan emosional dan memperkuat pesan.

5. Verifikasi sebagai Prinsip Utama

Hoaks kesehatan bisa berakibat fatal. Maka, verifikasi data adalah jantung komunikasi sains. Semua informasi harus ditopang oleh sumber tepercaya: jurnal medis, WHO, Kemenkes, atau penelitian terbaru. Kesalahan kecil bisa menurunkan kepercayaan publik yang susah dibangun kembali.

6. Gunakan Media yang Relevan

Setiap zaman punya medianya. Generasi muda mungkin lebih mudah tersentuh lewat TikTok atau Instagram Reels, sementara kalangan profesional lebih suka artikel panjang di portal sains. Strategi komunikasi harus adaptif: satu pesan, banyak kanal.

7. Bangun Dialog, Bukan Monolog

Komunikasi sains bukan khotbah satu arah. Publik ingin bertanya, berdebat, bahkan mengkritik. Forum tanya jawab, kolom komentar, atau webinar interaktif membuka ruang partisipasi. Dari dialog lahir pemahaman yang lebih mendalam dan rasa memiliki terhadap ilmu.

 

Manfaat Praktis bagi Masyarakat

Ketika komunikasi sains berjalan baik, masyarakat lebih sehat dan lebih kritis. Mereka tahu membedakan informasi benar dan palsu, mampu mengambil keputusan berbasis bukti, serta tidak mudah panik saat krisis. Misalnya, saat pandemi COVID-19, artikel dan video edukasi yang jelas membantu publik memahami arti flatten the curve, pentingnya masker, dan manfaat vaksin. Komunikasi sains pada akhirnya adalah vaksin melawan kebingungan.

 

Perspektif Futuristik: AI dan Jurnalisme Sains

Di masa depan, kecerdasan buatan (AI) bisa menjadi asisten komunikator sains. AI dapat menganalisis ribuan artikel medis dalam hitungan detik lalu menyusunnya menjadi informasi sederhana untuk masyarakat. Namun, AI tidak boleh menggantikan empati manusia. Kombinasi ideal adalah: data besar yang diringkas mesin, lalu disampaikan dengan sentuhan hati manusia.
Kita juga bisa membayangkan era “jurnalisme imersif,” di mana masyarakat belajar kesehatan melalui pengalaman virtual reality—misalnya, masuk ke simulasi tubuh manusia untuk melihat langsung bagaimana rokok merusak paru-paru. Teknologi futuristik semacam ini dapat membuat edukasi kesehatan lebih menyentuh dan efektif.

 

Menulis untuk Mencerahkan

Komunikasi sains kedokteran bukan sekadar soal menyampaikan fakta. Ia adalah seni, filosofi, dan strategi. Ia menuntut ketepatan data, keindahan bahasa, kekuatan narasi, dan ketulusan empati. Menulis sains berarti ikut serta dalam proyek besar: mencerdaskan masyarakat dan mencerahkan peradaban.

Seorang jurnalis kesehatan bukan hanya pencatat peristiwa medis, tapi juga penjaga akal sehat publik. Seorang komunikator sains bukan hanya penerjemah istilah laboratorium, tetapi juga penyalur harapan. Setiap artikel yang ditulis dengan hati bisa menjadi lilin kecil yang bersama-sama menerangi dunia. Dengan demikian, tercapailah Scientia Omnibus, Veritas Aeterna, Lux Mundi, yang bermakna: sains untuk semua, kebenaran abadi, cahaya dunia. 

 

 

(Dokter Dito Anurogo MSc PhD, WWPO Peace Ambassador untuk Indonesia, alumnus PhD dari IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dokter riset, dosen FKIK Unismuh Makassar, peneliti IMI, trainer dan penulis profesional berlisensi BNSP, reviewer jurnal Internasional-nasional, organisatoris)

Kalender

Artikel Terkait