Cegah Retardasi Mental dan Stunting, Kementerian Kesehatan Mewajibkan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) di Seluruh Fasyankes di Indonesia

 

Cegah Retardasi Mental dan Stunting, Kementerian Kesehatan Mewajibkan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) di Seluruh Fasyankes di Indonesia


Cegah Retardasi Mental dan Stunting, Kementerian Kesehatan Mewajibkan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) di Seluruh Fasyankes di Indonesia

Kementerian Kesehatan meluncurkan program Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) bayi baru lahir di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertujuan untuk mencegah stunting dan retardasi mental (disability Intellectual). Menurut data SSGI, prevalensi stunting di Indonesia telah mengalami penurunan dari 27,7% pada tahun 2019 menjadi 24,4% pada tahun 2021 dan kembali turun menjadi 21,6% di tahun 2022. Tetapi angka ini masih jauh dari target RPJMN 2024 yaitu 14%.

Prevalensi anak retardasi mental di Indonesia diperkirakan 1-3% dari jumlah penduduk Indonesia mengalami retardasi mental atau sekitar 6,6 juta jiwa, dari jumlah tersebut anak yang terkena retardasi mental berat sebanyak 2,8%, retardasi mental cukup berat sebanyak 2,6%, dan anak retardasi mental ringan atau lemah pikiran sebanyak 3,5% dan sisanya anak dungu 2,5%.

Hipotiroid kongenital merupakan kondisi di mana bayi tidak memiliki cukup hormon tiroid yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan normal. SHK merupakan implementasi dari transformasi layanan primer yang berfokus pada upaya promotif preventif kerena kebanyakan kasus kekurangan Hipotiroid Kongenital tidak menunjukkan gejala, sehingga tanpa disadari oleh orang tua, gejala khas akan muncul seiring bertambahnya usia anak.

Bagaimana SHK Bisa Mencegah Retardasi Mental Dan Stunting Pada Bayi

SHK menjadi bagian dari program skrining neonatal yang umum dilakukan di banyak negara. Program ini bertujuan untuk mendeteksi kelainan genetik dan kondisi medis pada bayi sejak dini, sehingga pengobatan dapat segera diberikan untuk mencegah komplikasi dan kerusakan jangka panjang. Proses skrining hipotiroid kongenital umumnya dilakukan dengan menguji jumlah hormon tiroid dalam darah bayi.

Pada pelaksanaanya, Skrining Hipotiroid Kongenital dilakukan dengan pengambilan sampel darah pada tumit bayi yang berusia minimal 48 sampai 72 jam dan maksimal 2 minggu oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan pemberi layanan Kesehatan Ibu dan Anak (baik FKTP maupun FKRTL), sebagai bagian dari pelayanan neonatal esensial dan sebelum meninggalkan rumah sakit atau klinik. Sampel darah diambil dari tumit bayi dan dianalisis untuk melihat kadar hormon tiroid, seperti thyroxine (T4) dan thyroid-stimulating hormone (TSH).

Jika hasil skrining menunjukkan adanya kelainan atau kadar hormon tiroid yang rendah, bayi tersebut kemungkinan besar akan dianjurkan untuk menjalani tes tambahan untuk memastikan diagnosis. Dalam kebanyakan kasus, pengobatan dengan suplemen hormon tiroid akan direkomendasikan segera setelah diagnosis hipotiroid kongenital ditegakkan. Pengobatan yang cepat dan tepat sangat penting untuk mencegah dampak jangka panjang dari kurangnya hormon tiroid pada pertumbuhan dan perkembangan bayi. Manfaat dari SHK yaitu untuk mencegah komplikasi dan memastikan pertumbuhan dan perkembangan yang lebih sehat.

Pemeriksaan SHK didukung dengan pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di seluruh Provinsi

Keseriusan pemerintah pada program ini tertuang dalam Permenkes nomor 78 tahun 2014 tentang Skrining Hipotyroid Kongenital yang mengatur tatalaksana kegiatan SHK. Selain itu dukungan lain pembiayaan untuk SHK diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/1511/2023 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pelayanan Kebidanan Dan Neonatal.

Pelayanan kesehatan masa hamil, persalinan, dan skrining hipotiroid kongenital menyesuaikan dengan terbitnya Permenkes Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Kementerian kesehatan akan memenuhi pembiayaan SHK untuk seluruh Puskesmas dengan perhitungan kebutuhan berdasarkan pada sasaran bayi lahir yang berasal dari data pusdatin. Pemenuhan alat dan bahan penunjang untuk pemeriksaan SHK berupa Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) didapatkan dari dana DAK Non fisik dan APBN. 

Selain dukungan pembiayaan dari pemerintah, kementerian kesehatan juga berupaya untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan tenaga kesehatan seluruh Indonesia untuk terampil dalam pengambilan darah dan pengiriman sampel agar tidak terjadi kegagalan dalam sample. Kementerian Kesehatan melakukan re-fresh keterampilan bagi Tenaga kesehatan (Nakes) Puskesmas melalui pelatihan, orientasi, dan workshop tentang SHK.

Tidak hanya mendapatkan materi saja, peserta nakes juga dibekali dengan On The Job Training agar memperkuat peserta dalam me-refresh pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan update regulasi yang berlaku saat ini demi memberikan pelayanan SHK yang berkualitas. 

Ini merupakan kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas tentang SHK bagi para nakes, sehingga kualitas pemeriksaan SHK dapat lebih optimal dan dipertanggungjawabkan.  Melihat besarnya manfaat dan keuntungan dari SHK ini diharapkan orangtua khususnya ibu agar melakukan SHK pada bayi yg baru dilahirkannya untuk perkembangan dan pertumbuhan yang normal dan sehat. 

Kalender

Artikel Terkait